Oleh: Ramlan Agus Subowo
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an dalam Islam. Hampir semua jumhur ulama, terutama dari kalangan sunni dan syi’ah mengakui hadits sebagai sumber hukum. Bagi kaum Muslim di Indonesia, yang mayoritas beraliran sunni, hadits menjadi sumber penting yang dijadikan sebagai sandaran utama. Bahkan, upaya-upaya mengabaikan hadits di kalangan Muslim Indonesia dianggap sebagai upaya menghancurkan salah satu sendi agama Islam itu sendiri.
Dalam makalah ini pemakalah akan menerangka sedikit tentang pemikiran Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub.
B. Batasan Masalah
Pemakalah hanya membahas sebagian pemikiran hadis Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub.
C. Tujuan
Adapun tujuanya adsalah supaya pembaca tahu pemikiran hadis Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub.
BABII
PEMBAHASAN
A. Sekilas Mengenai Prof. Dr. H. Ali Mustafa Ya’qub, MA
Ali Mustafa Yaqub, lahir di Batang Jawa Tengah, 1952. Obsesinya untuk terus belajar di sekolah umum terpaksa kandas, karena setelah tamat SMP ia harus mengikuti arahan orang tuanya, mencari ilmu di Pesantren. Maka dengan diantar ayahnya, pada tahun 1966 ia mulai mondok untuk menerima ilmu di Pondok Seblak Jombang sampai tingkat Tsanawyah 1969. Kemudia ia nyantri lagi di Pesantren Tebu Ireng Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari Pondok Seblak. Di samping belajar formal sampai Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy’ari, di Pesantren ini ia menekuni kitab-kitab kuning di bawah asuhan para kiai sepuh, antara lain al-Marhum KH. Idris Kamali, al-Marhum KH. Adlan Ali, al-Marhum KH. Shobari dan al-Musnid KH. Syansuri Badawi. Di Pesantren ini ia mengajar Bahasa Arab, sampai awal 1976.
Tahun 1976 ia mencari ilmu lagi di Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia, sampai tamat dengan mendapatkan ijazah license, 1980. Kemudian masih di kota yang sama ia melanjutkan lagi di Universitas King Saud, Jurusan Tafsir dan Hadis, sampai tamat dengan memperoleh ijazah Master, 1985. Tahun itu juga ia pulang ke tanah air dan kini mengajar di Institut Ilmu al-Quran (IIQ), Institut Studi Ilmu al-Quran (ISIQ/PTIQ), Pengajian Tinggi Islam Masjid Istiqlal, Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah, dan UIN Syarif Hidayatullah, Tahun 1989, bersama keluarganya ia mendirikan Pesantren “Darus-Salam” di desa kelahirannya.
Mantan Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh yang aktif menulis ini, kini juga menjadi Sekjen Pimpinan Pusat Ijtihadul Muaballighin, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Ketua STIDA Al-Hamidiyah Jakarta, dan sejak Ramadhan 1415 H/Februari 1995 ia diamanati untuk menjadi Pengasuh/Pelaksana Harian Pesantren al-Hamidiyah Depok, setelah pendirinya KH. Achmad Sjaichu wafat 4 Januari 1995. Terakhir ia didaulat oleh kawan-kawannya untuk menjadi Ketua Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi).
Prof. Dr. H. Ali Mustafa Ya’qub merupakan sosok pribadi intelektual Muslim. Ia dikenal sebagai pakar ilmu hadis. Sebab itu tidak mengherankan bila ia mengembangkan dakwah islamiyah lewat perspektif hadis. Ia dapat dikatakan seseorang yang paling mempunyai otoritas bila berbicara mengenai kisi-kisi kehidupan, perilaku, dan tindakan Rasulullah Saw. Hal itu dikarenakan gelar profesor yang disandangnya ialah gelar profesor hadis, yang diperolehnya dari Institut Ilmu-Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta, atas pengakuan keahliannya dalam bidang hadis.Gelar itu sekaligus menjadikannya sebagai profesor pertama dalam bidang hadis di Indonesia. Selain, masih aktif mengajar dan memberikan dakwah sebagai seorang da`i, beliau juga mendirikan pondok pesantren hadis bernama Darus Sunnah di Tangerang.
B. Pemikiran hadis Prof. Dr. H. Ali Mustafa Yaqub
1. Kajian Hadits Dikalangan Oerientalis
a) Barat mempelajari islam
Tidak ada keterangan yang jelas, kapan dan siapa sebenarnya orang barat yang pertama kali memepelajari islam. Para pakar berpendapat, ada yang ,engatakan bahwa hal itu terjadi pada waktu perang mut’ah (8H) kemudian perang Tabuk (9H), dimana terjdai kontak pertama kali antara orang-orang romawi dengan orang-orang muslim. Sementara pakar yang lain berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika pecah perang antara kaum muslimin dan Nashrani di Andalus (Spanyol), terutama setelah raja Alphonse VI menguasai Toledo tahun 488H/2085M
Ada juga yang berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika orang-orang barat merasa terdesak oleh ekspansi islam, terutama setelah jatuhnya istanbul tahun 857H/1453M ketangan kaum muslimin dimana kemudian mereka masuk keWina. Orang-orang barat merasa perlu untuk membendung ekpansi ini, sekaligus untuk mempertahankan eksistensi kaum nasrani. Sementara itu ada pula pakar yang berpendapat lain.
Namun suatu hal yang perlu dicatat, bahwa orang-orang seperti Jerbert de Oraliac (938-1003M), Adelart of Bath (1070-1135M), Pierre Le venerable (1094-1156M), Gerard de Gremona (1114-1187M), Leonardo Fibonacci (1170-1241M) dan lain-lain pernah tinggal di Andalus, dan mempelajari Islam dikota-kota seperti Toledo, Cordova, Sevila, dan lain-lain. Sepulang dari Andalus- yang waktu itu masih dikuasai umat islam- mereka menyebarkan ilmunya kedaratan Eropa. Misalnya, Jebert de Oraliac yang kemudian terpilih menjadi Paus Sylvestre II (999-1003M)mendirikan dua sekolah Arab, masing-masing di Roma, tempat ia bermarkas sebagai Paus, dan ditempat kelahirannya di Prancis. Bahkan Robert of Chester (populer antara 1141-1148M) dan kawannya Herman Alemanus (w 1172M) sepulang dari Andalus mereka menerjemahkan Al-Qur’an atas saran dari Paus Sylvester II tadi. Penerjemahan Al-Qur’an kebahasa latin yang dibantu dua orang Arab ini selesai pada tahun 1143M. Dan ini merupakan penerjemahan Al-Qur’an yang pertama kali dalam sejarah.
Nama-nama diatas tercatat sebagai orang-orang eropa yang pertama kali melakukan kajian tentang islam yang kemudian lazim disebut orientalisme.
b) Kajian Hadits
Kajian islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat pada mulanya hanya ditujukan kepada m,ateri-materi keislaman secara umum, termasuk bidang sastra dan sejarah. Baru pada masa-masa belakangan mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang hadits Nabawi.
Menurut pemikiran Prof. Dr. M.M. Azami, sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadits adalah Ignaz Golziher, orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M. Pada tahun 1890M ia menerbitkan hasil penelitiannya tentang hadits dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (studi Islam). Dan sejak saat itu samapi kini, buku Goldzhiher ini menjadi “kitab suci” dikalangan orientalis.
Kurang leih kurang lebih enam puluh tahun terbitnya buku Goldziher itu, Joseph Schacht – yang juga orientalis Yahudi – menerbitkan hasil penelitiannya tentang hadits, dalam sebuah buku berjudul The Original of Muhammadan Jurisprudence. Konon leih dari sepuluh tahun ia melakukan penelitian hadits. Dan sejak saat itu (1950M), buku J. Scahacht juga menjadi “kitab suci” kedua dikalangan orientalis.
Dibanding I. Goldziher, J. Schacht memiliki “keunggulan” karena Schacht samapai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satupun hadits yang otentik dari nabi S.a.w., khususnya hadits-hadits yang berkaitsn dengan hukum islam.sementara Goldziher hanya sampai pada kesimpulan meragukan adanya otensitas hadits. Karenanya, dikalangan orientalis, buku Schacht ini memperoleh reputasi yang luar biasa. Tak kurang dari prof. Gibb mengatakan bahwa buku Schact ini kelak akan menjadi rujukan pokok bagi semua kajian tentang peradaban dan hukum islam, paling tidak dibarat. Bahkan Prof. Anderson dari Universitas London melarang mahasiswanya mengkritik buku Schacht. Katanya,” bila anda ingin meraih gelar doktor, jangan sekali-sekali anda mengkritik Schacht. Karena pihak universitas tidak akan mengizinkan hal itu.
c) Tidak Ilmiah
Selain dua buku diatas, dalam masa tiga perempat abad sejak terbitnya buku Goldziher, kalangan orientalis tidka menerbitkan hasil kajian mereka tentang hadits, kecuali beberpa amakalah yang isinya jauh dari sebuah penelitian hadits. Memang ada sebuha buku yangditulis oleh A. Guillaume berjudul the Traditions of Islam (hadits-hadits Islam), tetapi kajiannya sangat mengandalkan penelitian baru dalam penelitan hadits. Karenanya, menurut prof. Dr. Azami, buku Guillaume itu tidak mei=miliki nilai ilmiah.
Seorang orientalis dharapkan dapat merevis pendapat-pendapat Goldziher dan Schacht adlah Prof. Robson, karena ia menerjemahkan kitab Misykah al-Mashabih dan Al-Madkhal karya Al-Hakim. Namun ternyata ia juga terkecoh oleh teori-teori Schacht.
d) Ulama Memalsu Hadits
KH ali Mustafa yaqub, MA mengatakan Apabila demikian, maka untuk mengengetahui hasil-hasil kajian orientalis tentang hadisnya, sebenarnya cukup menelusuri penfdapat kedua tokoh orientalis di atas, yaitu golziher dan Schacht, karna orientalis-orientalis sesudahnya pada umumnya hanya mengikuti nkedua tokoh tersebut.
Baik Goldziher maupun Schact berpendapat bahwa hadits tiaklah berasal dari Nabi Muhammad saw, melainkan sesuatuyang lahir pada abad pertama dan kedua hijriah. Atau kata lain bahwa hadits adalh bikinan para ulama abad pertama dan kedua.
e) Mengubah Teks-teks Sejarah
Tokoh ilmu hadits yang menjadi incaran serangan Goldziher adalah Imam Al-Zuhri (w 123 H). disamping dituduhnya sebagai pemalsu hadits, Godziher juga merupakan teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Al-Zuhri, sehingga timbul kesan Al-Zuhri sebagai pemalsu hadits.
Menurut Goldziher, Al-Zuhri mengatakan, “Inna haulai al-umara akrahuna ‘ala kitabah ahadits “ (sesungguhanya para pejabat itu telah memaksa kami untuk menulis hadits)
f) Integritas Ilmiah
Dalam buku beliau belaiu, beliau mengatan bahwa keculasan ilmiah golziher dalam mengutip sumber-sumber tulisanya menarik perhatian kalangan sarjana muslim. Tak kurang dari Prof. Dr. Mustafa al-siba`i ketika berkunjung di universitas leiden belanda, beliau menyempatkan diri menemui Prof. Joseph schacht untuk mendiskusikan keculasan golziher tersebut. Semula ia tidak percaya namun setelah di tunjukan buktinya oleh al-siba`i, schacht akhirnya mengakui hal itu sebagai “kekeliruan” goldziher.
g) Sanggahan Ulama
Begitulah ulah kedua gembong orientalis. Mereka mengkaji hadis bukan untuk mencari kebenaran-kebenaran ajaran yang terkandung di dalamnya, melainkan dalam rangka mencari bukti-bukti bahwa apa yang disebut hadis oleh orang muslim tidak ada kaitanyadengan nabi muhammad saw. Dan ketika bukti-bukti itu tidak di temukan, karna memang tidak ada, mereka kemudian membuat argumen-argumen palsu untuk mendukung tujuanya. Sekurang-kurangnya kata Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub sekurang-kurangnya ada tiga ulama kontemporer yang sudah menangkal teori-teori golziher dab schacht. Yaitu Prof. Dr. Mustafa al-siba`i dalam bukunya Ial-sunah wamakanatuha fi al-tasy`al-islami (1949), Prof. Dr. Mohammad hajjaj alkhatib dalam bukunya al-sunah kobla al-tadwin, dan yang ke tiga adalah Prof. Dr. Mhammad Azami dalam bukunya Studies in Early Hadith Literatur (1967) yang secara komprehensif Teori-teori Orientalis tentang nabi Saw.
2. Ingkar Sunnah
a. Ingkar Sunah Klasik
Cikal bakal penolakan hadis sudah terjadi pada ulama generasi tabi`in (generasi kedua sesudah Nabi Saw), imam alhasan al-bashri (w 110 H) menuturkan, ketika sahabat Nabi Saw `imran bin hushain (w 52 H) sedang mengajarkan hadis, tiba-tiba Ada seseorang yang memotong pembicaraan beliau, “ wahai abu nujaid”, demikian orang itu memanggil `Imran, “berilah kami pelajaran al-quran saja”. Begitulah semakin jauh dari masa Nabi Saw semakin banyak orang yang mencari pemecahan masalah-masalah yang mereka hadapi hanya dalam al-Qur`an saja.
Menutut Prof. Dr. H Ali Mustafa Yaqub ingkar sunah secara umum terdapat di iraq. Mengapa beliau mengatakan demikian, karna orang-orang kebanyakan ingkar sunah datang dari iraq. Dan itulah gejala-gejala ingkar sunah yang muncul di kalangan para sahabat.
Selain itu juga, golongan khawarij yaitu golongan yang keluar atau golongan yang memisahkan diri dari Ali bin Abi Thalib r.a.
Apakah khawarij menolak sunah? Ada sebuah sumber yang mengatakan bahwa kaum khawarij sebelum tejadinya fitnah mereka masih menerima hadis-hadis tersebut. Namun sesudah terjadinya fitnah yaitu terjadinya perang saudara antara Ali r.a dan Mu`awiyah r.a klompok khawarij menilai mayoritas sahabat nabi sudah keluar dari agama islam. Akibatnya sesudah kejadian itu hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat di tolak oleh kaum khawarij.
Selain khawarij ada juga golongan syi`ahyaitu golongan yang mendukung Ali Bin Abi Thalib. Menurut syi`ah bahwa sepeninggalan Nabi Saw mayoritas sahabat sudah murtad (keluar dari islam). Kecuali hanya beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap muslim. Karnanya golongan syi`ah menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat tadi. Syi`ah hanya menerima hadis dari ahl al-bait saja.
Adalagi golongan mu`tazilah, yaitu golongan yang mengasingkan diri dari mayoritas umat islam karna mereka berpendapat bahwa seorang mukmin yang fasiq (berbuat maksiat) tidak dapat disebut mukmin atau kafir.
Diantara ulama mu`tazilah yang menolak sunah yaitu Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar, yang populer disebut al-nadhlan ( wafat antara 221-223 H). Ia mengingkari kemu`jizatan Al-Quran dari segi susunan bahasanya, dan mengingkari kemu`jizatan Nabi Saw, dan mengingkari hadis yang tidak dapat memberikan pengertian yang pasti untuk di jadikan sebagai sumber syari`at islam.
Namun tidak semua mashab mu`tazilah mengingkari sunnah. Seperti ulama mu`tazilah yanglain yaitu Abu Al-Hasan Al-bashri dalam kitabnya al-mu`tamad. Bahkan mayoritas ulama` mu`tazilah, misalnya Abu al-Hudzail al-`Allaf (w 226 H) dan Muhammad bin `Abd al-wahhab al-juba`i (w 303 H), justru menilai bahwa al-nadhdham telah keluar dari islam
b. Ingkar Sunah modern
Apabila para pengingkar sunah pada masa klasik mencabut pendapatnya setelah mereka m,enyadari kekeliruanya, maka para pengingkar sunah pada masa modern banyak yang bertahan pada pendirianya, meskipun kepada mereka telah diterang kan urgensi sunnah dalam islam. Bahkan diantara mereka ada yang tetap mewnyebarkan pemikiranya secara diam-diam. Meskipun penguass setempat telah mengeluarkan larangan resmi terhadap aliran tersebut.
Kapankah aliran ingkar-sunah modern itu lahir? Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami menuturka bahwa ingkar sunah modern lahirdi cairo mesir pada masa Syeikh Muhammad Abduh (1266-1323H/ 189-1905M). atau dengan kata lain syeikh Muhammad abduh adalah orang pertama kaliyang melontarkan gagasan ingkar sunah pada masa modern.
Abu riyah dalam menolak sunah banyak merunjuk kepada pendapat syeikh Muhammad abduh dan sayyid rasyid ridha. Sehinggakedua tokoh ini khususnya syekh Muhammad abduh disebut-sebut sebagai pengingkar sunah.
3. Kreadibilitas Ulama` Hadis
Profesor Ya’qub mengatakan, bahwa buku ini mulanya adalah jawaban dari berbagai pertanyaan yang datang dari masyarakat menyangkut hadis-hadis yang familiar ditengah-tengah mereka, yang dituangkan dalam risalah singkat di majalah Amanah, sebuah majalah bernuansa islami. Beliau bahkan tidak hanya sekedar memberikan jawaban, tetapi secara rinci beliau ungkap pula proses kajian, bahasan, dan penelitian terhadap hadis-hadis yang terkandung didalamnya, yang dimaksudkannya agar diketahui oleh orang banyak.
Khusus menyangkut karyanya ini, bermula dari ketertarikannya untuk meneliti secara mandiri hadis-hadis bermasalah yang memang banyak dijadikan sebagai dasar sandaran ibadah di masyarakat. Padahal, kebanyakan dari hadis-hadis tersebut palsu (lemah).Ada beberapa hadis yang dianggap palsu oleh masyarakat, namun setelah ditelitinya ternyata hadis shahih.Sebaliknya, ada hadis yang ditinggalkan oleh masyarakat karena dianggap lemah (dhaif), ternyata setelah ditelitinya, kelemahannya tidak parah.Bahkan, substansinya didukung oleh dalil-dalil lain yang lebih kuat, sehingga layak untuk dijadikan landasan beramal atau meninggalkan perbuatan terlarang.
Untuk mengetahui bagaimana pendekatan dan operasionalisasi kritik hadis oleh Prof. Prof. Ali Mustafa Ya’qub, uraian ini akan mengambil contoh satu hadis yang merupakan salah satu sub judul bahasan dalam buku Hadis-Hadis Bermasalah.buah pepatah dalam bahasa
Ada sebuah pepatahdalam bahasa arab, “iqta al-ashl fa saqata al-far” (terbangla pohonya, maka runtuhlah dahanya).[1] Pepatah ini digunakan untuk menghilangkan pengaruh pemikiranatau pendapat seseorang agar tidak diikuti oleh orang lain.
Pada bagian pertama bukunya, beliau mencoba mengkritik hadis yang sudah amat populer bagi publik Muslim di Indonesia, yaitu hadis yang berkenaan dengan kewajiban menuntut ilmu, sekalipun ilmu itu berada di negeri Cina. Redaksi lengkap hadis dimaksud ialah sebagai berikut:
“Uthlub al-‘ilma walaw bi as-shini fa inna thalaba al-‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin”
Artinya: “Tuntulah ilmu meskipun di negeri Cina, karena mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.”
Sebelum mengurai kritik hadis ini, lalu masuk kepada permasalahan yang lebih jauh, Ali Mutafa Ya’qub memulai uraian dengan cerita seorang mahasiswa yang ditanya oleh masyarakat tentang siapakah yang meriwayatkan hadis tersebut, dan mengapa hadis tersebut menyebut Cina, bukan Eropa yang kini justru dianggap lebih maju. Dari cerita itu, beliau menilai ada dua pokok masalah dalam hadis ini yang amat krusial untuk dijawab.Pertama, menyangkut transmisi periwayatannya, yang artinya menyangkut kririk sanad, dan kedua, menyangkut disebutnya “Cina” dan bukan Eropa, yang artinya menyangkut materi atau substansi hadis.
a) Rawi dan Sanad Hadis
Dalam penelusuran Prof. Ali Mustafa Ya’qub, hadis Carilah Ilmu Meskipun di Negeri Cina diriwayatkan oleh beberapa rawi/ periwayat, antara lain: Ibn ‘Ady (w. 356 H) dalam al-Kamil fi al-Dhu’afa al-Rijal, Abu Nu’aim (w. 430 H) dalam Akhbar Ashbihan, al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam Tarikh Baghdad dan al-Rihlah fi Thalab al-Hadits, Ibn Hibban (w. 254 H) dalam al-Majruhin, dan lain-lain. Mereka semua ini, menerima hadis dari: al-Hasan bin ‘Atiyah, dari Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman, dan dari Anas bin Malik, (dari Nabi Saw.).
b) Kualitas Hadis
Dari beberapa keterangan yang berhasil dihimpun mengenai kualitas hadis Carilah Ilmu Meskipun di Negeri Cina, beliau menyimpulkan bahwa hadis ini berstatus palsu (maudhu).Artinya, hadis ini bukan merupakan sabda atau perkataan Nabi Muhammad Saw. Faktor yang menyebabkan hadis ini palsu ialah karena dalam susunan sanad (rangkaian periwayat/ rijal al-hadis) terdapat nama Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman, yang dikenal oleh para ulama hadis sebagai tidak mempunyai kredibilitas sebagai periwayat hadis, dan suka memalsukan hadis. Baik al-‘Uqaili, al-Bukhari, al-Nasa’i, dan Abu Hatim, sepakat bahwa Abu ‘Atikah Tarif bin Sulaiman merupakan orang yang tidak dapat dipercaya. Sedangkan dari segi materi hadis, baik Ibn Hibban maupun Ahmad bin Hanbal sama-sama menentang keras keberadaan sabda Nabi Saw. seperti ini. Ibn Hibban bahkan mengatakan bahwa hadis Carilah Ilmu Meskipun di Negeri Cina adalah hadis bathil la ashla lahu (batil, palsu, tidak ada dasarnya).
Selanjutnya, Prof. Ali Mustafa Ya’qub tidak lupa mencari dan mendata hadis sejenis (yang kandungan materinya sama) dari beberapa riwayat lain. Setelah ditelusuri, ada tiga jalur lain (sanad), sebagai berikut:
i. Ahmad bin ‘Abdillah, dari – Maslamah bin al-Qasim, dari – Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-‘Asqalani, dari – ‘Ubaidillah bin Muhammad al-Firyabi, dari – Sufyan bin ‘Uyainah, dari – al-Zuhri, dari – Anas bin Malik, dari – (Nabi Saw). Hadis dengan riwayat/ sanad ini diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imam.
ii. Ibn Karram, dari – Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari, dari – al-Fadhl bin Musa, dari – Muhammad bin ‘Amr, dari – Abu Salamah, dari – Abu Hurairah, dari – (Nabi Saw). Hadis dengan sanad ini diriwayatkan oleh Ibn Karram, dan tercantum dalam al-Mizan karya al-Dzahabi.
iii. Ibn Hajar al-‘Asqalani, dari – Ibrahim al-Nakha’i, dari – Anas bin Malik.
Hadis dengan sanad ini diriwayatkan sendiri oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani, dan dicantumkan dalam karyanya sendiri, Lisan al-Mizan.
Hadis dengan sanad ini diriwayatkan sendiri oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani, dan dicantumkan dalam karyanya sendiri, Lisan al-Mizan.
Sayangnya, sebagaimana penelusuran Prof. Ali Mustafa Ya’qub, ketiga jalur sanad ini tetap saja tidak merubah status hadis diatas yang divonis sebagai palsu. Sebab-sebabnya ialah: di sanad pertama, tercantum nama Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-‘Asqalani, yang dinilai oleh al-Dzahabi sebagai al-Kadzdzab (pendusta besar); di sanad kedua, tercantum nama Ahmad bin Abdullah al-Juwaibari, yang termasuk sebagai pemalsu hadis; sedang pada sanad ketiga, sesuai keterangan Ibn Hajar al-‘Asqalani, bahwa Ibrahim al-Nakha’i sesungguhnya tidak pernah mendengar apapun dari Anas bin Malik.
Biasanya, kata Prof. Ali Mustafa Ya’qub, sebuah hadis dhaif yang didukung oleh riwayat lain yang dhaif juga, maka statusnya bisa meningkat menjadi, paling minimal hasan li ghairihi. Namun sayangnya, tambah beliau, dalam kasus hadis Carilah Ilmu Meskipun di Negeri Cina ini kasusnya berbeda, yakni tidak ada satu pun dari keempat jalur hadis yang ada mempunyai status atau kualitas dhaif sekalipun. Mengingat, dari jalur sanad keempatnya sudah diyakini bahwa hadis tersebut adalah palsu. Karena itulah, menurut Prof Ali Mustafa Ya’qub, ungkapan Carilah Ilmu Meskipun di Negeri Cina tidak boleh lagi disebut sebagai hadis, meskipun kalangan masyarakat awam menganggapnya sebagai hadis. Paling bagus, ungkapan itu hanyalah sebuah kata-kata mutiara. Dan boleh jadi, karena begitu cepatnya kata mutiara ini menyebar, ia lama-kelamaan dianggap hadis, apalagi masyarakat mengetahui bahwa memang sudah sejak dulu masyarakat Cina terkenal mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Hal penting yang harus digaris bawahi, kata Prof. Ali Mustafa Ya’qub, bahwa kepalsuan hadis Carilah Ilmu Meskipun di Negeri Cina, adalah dalam redaksi lengkapnya berbunyi: “Uthlub al-‘ilma walaw bi as-shini fa inna thalaba al-‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin.” Redaksi ini, sebenarnya bisa dipenggal menjadi dua kalimat: pertama, “uthlub al-‘ilma walaw bi as-shini”; kedua, “thalaba al-‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslimin.” Penggalan kalimat pertama lah, yang menyebabkan hadis ini palsu. Sedangkan penggalan kedua, jika ia berdiri sendiri, lalu disampaikan kepada umat, maka ia sebenarnya mempunyai status shahih. Jadi, jika ada orang mengatakan bahwa ia membaca, menyampaikan, atau mendapat hadis, yang artinya berbunyi: “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim,” maka hadis itu statusnya adalah hadis shahih. Sebab, hadis itu memang berasal dari Nabi Saw.yang antara lain, diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imam, oleh al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Shagir dan al-Mu’jam al-Awsath, dan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad.
4. Kalangan orientalis
Tidak ada keterangan yang jelas, kapan dan sebenarnya orang barat yang pertama kali mempelajari islam. Para pakar berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi pada wakyu perang mu`tah (8H) kemudian perang tabuk (9H), dimana terjadi kontak pertama kali antara orang-orang romawi dengan orang-orang muslim. Sementara pakar yang lain berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika pecah perang antara muslim dan nashrani di Andalus (sepanyol), terutama setelah Raja Alphonse VI menguasai Toledo pada tahun 488H/1085 M.[2]
Menurut beliau juga, Ada juga yang berpandapat hal itu terjadi ketika orang barat merasa terdesak oleh ekpansi islam, terutama setelah jatuhnya Istambul pada tahun 857 H/ 1453 M ke tangan kaum muslimin.
Namun suatuhal, K.H Mustafa Yaqub, MA mengatakan bahwa orang-orang seperti Jerbret de Oraliac (938-1000M), Adelard of bath (1070-1135M), Piere le venerable (1094-1156 M), Gerard de Gremona (1114-1187 M), Leonardo fibonacci (1170-1241 M), dan lain-lainnya pernah tinggal di Andalus, dan mempelajari islam di kota-kota seperti Toledo, Cordova, sevila, Danlain-lain.
BABII
KESIMPULAN
1) Sebagai simpulan, pemakalah ingin mengatakan beberapa hal sebagai berikut:Sebagai seorang yang dibekali disiplin keilmuan dalam horison ilmu hadis, tidak mengherankan jika Prof. Ali Mustafa Ya’qub lebih mengedepankan kritik sanad, untuk mengetahui apakah suatu hadis bisa diterima, dan sebaliknya harus ditolak. Ini terlihat dari caranya dalam mengkritik sebuah ungkapan, yang oleh orang banyak dikatakan sebagai hadis.
2) Meskipun demikian, Prof. Ali Mustafa Ya’qub sebenarnya salah satu ahli hadis yang juga amat memperhatikan pentingnya kritik matan. Dalam banyak uraiannya, di buku Hadis-Hadis Bermasalah, beliau amat apresiatif terhadap materi hadis yang secara logika dapat dibenarkan, meskipun secara periwayatan atau kualitas sanadnya terbilang lemah (dha’if).Meskipun, logika yang dimaksudkan ialah yang secara kategoris masih dalam alam pikiran kebahasaan bahasa Arab.
3) Kiranya cukup beralasan jika tokoh seperti Prof. Ali Mustafa Ya’qub, barangkali, akan meneliti kembali lebih jauh suatu hadis menurut metodologi penelitian sanad, kendatipun, misalnya, ada hadis yang secara logika sungguh dapat diterima. Kasus ini berlaku juga, misalnya, pada hadis yang secara matan dapat diterima tapi sanad-nya dha’if.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub, MA. Kritik Hadis, Pustaka Firdaus,Jakarta :2008
http://a-syihabuddin.blogspot.com/2007/11/prof-ali-mustafa-yaqub-seorang-kritikus.html
terima kasih postingannya...
BalasHapus