oleh: Sulaiman
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Balakang
Secara garis besar, kelompok orientalis dibagi menjadi dua. Pertama, kelompok moderat dan tidak fanatik yang dapat berbuat adil dalam prinsip keilmuan penuh kejujuran. Kelompok ini diwakili oleh nama-nama seperti Jenny Pieere, Carl Leil, Tolstoy, dll. Kedua, kaum fanatik yang tidak berlaku adil dalam prinsip keilmuan dan condong menutupi kebenaran yang ada serta tidak memilki metode keilmuan yang memadai.
Kajian keislaman pada mulanya hanya ditujukan kepada materi-materi keislaman secara umum. Baru pada masa-masa belakangan, mereka mengarahkan kajiannya secara khusus kepada bidang hadits nabi. Sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian terhadap hadits nabi adalah Ignaz Goldziher (1850-1921), seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria dengan karya berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Buku yang kemudian dijadikan semacam “kitab suci” para orientalis saat ini.
Penelitian hadits selanjutnya diteruskan oleh Joseph Schacht yang juga merupakan seorang Yahudi orientalis. Bukunya yang terkenal berjudul The Origins of Muhammaden Jurisprudence. “Keunggulan” Schacht ialah kemampuannya dalam membuat kesimpulan bahwa “tidak ada satu hadits pun yang otentik dari Rasulullah Saw, khususnya hadits yang bersangkutan dengan hukum Islam.” Namun demikian, Goldziher hanya sekadar meragukan keotentikan hadits nabi mazhab sunni
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Joseph Schacht
Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia meraih gelar Doktor dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika ia berusia 21 tahun.
Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan negerinya Jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia tinggal di Cairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar.[1]
Ketika perang dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan pindah ke Inggeris untuk kemudian bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia seorang Jerman, namun dalam perang dunia II ia berada di pihak Inggeris. Dan ketika perang selesai, ia tidak pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal di Inggeris, dan menikah dengan wanita Inggeris.
Bahkan pada tahun 1947 ia menjadi warga negara Inggeris. Meskipun ia bekerja untuk kepentingan negara Inggeris dan mengkhianati tanah airnya sendiri, namun pemerintah Inggeris tidak memberikan imbalan apa-apa kepadanya. Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Propesor-Doktor, di Inggeris ia justeru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari universitas tersebut.
Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggeris dan mengajar di Universitas laiden Negeri Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959. Di sini ia ikut menjadi supervisor atas cetakan kedua buku Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah. Kemudian pada musim panas tahun 1959 ia pindah ke Universitas Colombia New York, dan mengajar di sana sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1969.[2]
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya, seperti Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.[3]
Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Lau yang terbit pada tahun 1960.4 Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits Nabawi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.[4]
Tuduhan semacam ini muncul dari beberapa tokoh orientalis, salah satunya adalah Joseph Scathc dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Kajiannya diawali dengan meneliti proses kemunculan Hukum Islam. Dia berpendapat bahwa Hukum Islam baru berwujud pada masa setelah al-Sya’bi (w. 110 H). hal ini berarti hadits-hadits yang berkenaan dengan hukum Islam adalah buatan orang-orang setelah al-Sya’bi. Karena ia beranggapan bahwa hukum Islam baru dikenal pada masa pengangkatan para qadi. Maka kesimpulan yang didapat dari hasil kajiannya tersebut bahwa keputusan-keputusan yang diambil para qadi itu memerlukan legitimasi dari orang yang memiliki otoritas lebih tinggi sehingga mereka menisbahkannya kepada orang-orang sebelum mereka sampai pada totoh-tokoh generasi tabi’in, para Sahabat, dan berakhir pada Nabi Muhammad Saw. inilah rekonstruksi sanad menurut Schatc.
B. Pemikiran Joseph Schacht
Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadits adalah Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadits banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits , Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu.[5] sebagaimana yang dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, Prof. Schacht mengatakan : we shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic. (kita tidak akan dapat menemukan satu pun Hadis nabi yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dipertimbangkan sebagai Hadis Shahih).[6]
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam lima poin:[7]
1. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama.
2. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4.Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5.Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Dan dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw, Joseph Schacht menyusun beberapa teori berikut ini:
1. Teori Projecting Back
Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadits Nabi. Prof. Schacht menegaskan bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w. 110 H). penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan Hadits -Hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadits -hadits itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Ia berpendapat bahwa Hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Pada khalifah dahulu (khulafa al-Rasyidin) tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan Qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.[8]
Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu, misalnya Masruq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya Abdullah ibn Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. Inilah rekontruksi terbentuknya sanad Hadits menurut Prof. Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada dibelakang mereka, inilah yang disebut oleh Schacht dengan teori projecting Back.[9]
Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang berujung ke Rasulullah saw adalah ciptaan atau tambahan para fuqâhâ’ di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab mereka dengan menjadikannya sebagai hadits nabawi.
2. Teori E Siliento
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang perawi pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadits dan gagal menyebutkannya atau jika satu hadits oleh ulama atau perawi yang datang kemudian yang mana para perawi sebelumnya menggunakan hadits tersebut, maka berarti hadits tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadits ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadits itu eksis/ tidak, cukup dengan menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadits itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.
3. Teori Common Link
Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa orang yang paling bertanggung jawab atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah yang menurut Juynboll merupakan pemalsu dari hadits yang dibawanya. Argumennya satu: Jika memang sebuah hadits itu telah ada semenjak Rasulullah saw, mengapa ia hanya diriwayatkan secara tunggal di era Shahabat atau Tabi’in, lalu baru menyebar setelah Common Link? Juynboll menganggap fenomena ini muncul karena common link itulah yang pertama kali memproduksi dan mempublikasikan hadits tersebut dengan menambahkan sebuah jalur sanad ke belakang sampai Rasulullah saw.
[1] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 19
[2] Abdurrahman Badawi, Mausu’ah al-Mustasyriqin, Bairut, Daar al-Ilmi al-Malayin, 1989, hlm. 252-253.
[3] Hafsa Mutazz, “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya”, dalam internet website: http://www.gaulislam.com/sosok-orientalisme-dan-kiprahnya, diakses pada tanggal 27 Desember 2010.
[4]Makalah “Kajian Sanad Hadis, antara Joseph Schacht dan M.M. A’dhami” oleh Zailani, M.Ag
[5] Khoirul Asfiyak, “Otentisitas Hadits dimata Orientalist” dalam internet website:http://fai-unisma-malang.blogspot.com/2009/01/otentisitas-hadits-di-mata orientalist_10.html, diakses tanggal 27 Desember 2010.
[6] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 22
[7] M.M Azami, Menguji Keaslian hadits-hadits hukum (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2004), hal. 232-233.
[8] Joseph Schacht, An Introductionti Islamic Law, Oxford, Clarendom Press, 1964, hlm. 34.
[9] Joseph Schacht, An Introductionti Islamic Law, Oxford, Clarendom Press, 1964, hlm. 31-32
keberadaan artikel saudara sungguh bermanfaat, terkhusus bagi sebagian akademisi yang memiliki kekurangan finansial untuk membeli buku-buku yang baik. selamat dan tetaplah berkarya..
BalasHapusArtikel yang baik dan bermanfaat. Tetapi lebih baik jika disertakan bersama jawab balas daripada ulama' agar dapat membetulkan semula kefahaman pembaca.
BalasHapusgood saya apresiasi karya ny terimakasih ya
BalasHapusSebenarnya udah baik, tapi akan lebih bagus jika disertakan contoh dari Common link itu
BalasHapus