Oleh: Sakuntari Ningsih
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qari andal, hafizh Al-Quran, pakar fiqih dan ushul fiqh, pengajar pascasarjana di berbagai perguruan tinggi, muballigh dan pengisi berbagai acara di televisi, juri MTQ tingkat internasional di berbagai negara. Itulah sebagian di antara sederet atribut dan aktivitas yang disandang Prof.Dr. Habib Said Agil Husin Almunawar. Ulama intelektual ini memang memiliki banyak keahlian sehingga aktivitasnya pun menjadi sangat beragam. Sosok yang dibutuhkan banyak orang, enak diajak bicara, dan bersuara merdu, ini lahir di Kampung tigabelas Ulu, Palembang, pada tanggal 13 26 Januari 1954. |
Meski sibuk dengan berbagai aktivitas, Habib Said Agil masih menunjukkan kelebihannya yang lain, menghasilkan karya-karya tulis yang berbobot. Bahkan ia tergolong penulis yang produktif, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun makalah seminar., ia pun tak pernah meninggalkan tradisi yang dipelihara para habib dan ulama pada umumnya, yakni membaca wirid dan dzikir. Setiap hari ia tak lupa membaca al-wirdul-lathif, berbagai hizib, juga amalan-amalan yang terdapat dalam kitab Syawariq Al-Anwar, karya Sayyid Muhammad Al-Maliki.
Menteri Agama Kabinet Gotong-Royong ini sedang menjalani proses hukum dengan tuduhan korupsi Dana Abadi Umat. Ilmuwan yang hafal Al Quran 30 Juz, mubaliq dan uztad serta tokoh muslim moderat ini mengatakan, kerukunan adalah modal utama untuk keberhasilan. Dan, agama adalah jalur paling efektif untuk mewujudkan kerukunan. Sebagai seorang akademisi dengan kedalaman pemahaman agama, ia dipercayakan menjabat Menteri Agama.
Doktor (Ph.D) lulusan Fakultas Syari’ah Universitas Ummu Al Qura Makkah Saudi Arabia (1987), ini mengatakan agama memiliki peran dan kontribusi yang penting dalam kehidupan masyarakat. Agama juga menjadi benteng spiritual dan moral. Cirinya adalah setiap bertindak selalu berangkat dari basis hati nurani. Setiap melangkah dan melakukan sesuatu harus bertanya kepada hati nurani yang didasari oleh ajaran agama yang dianutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui siapakah Prof.Dr Said Agil Munawwar?
2. Bagaimana pemikiran beliau di bidang hadits?
3. Karya-karya beliau yang terkenal di dunia islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Prof. Said Agil Munawwar
Prof Dr.H. Said Agil Husin al-Munawwar, MA lahir di Palembang Sumatera Selatan, 26 Januari 1954. Beliau adalah seorang pengajar dan mantan Menteri Agama Indonesia, ia menjabat Menteri Agama pada Kabinet Gotong Royong (2001-2004).
Pengajar lulusan Fakultas Syari’ah di Universitas Ummu al-Quro di Makkah Arab Saudi ini pernah bekerja sebagai dosen pada beberapa perguruan tinggi sebelum menjadi menteri, terutamanya perguruan tinggi islam seperti Institute Agama Islam Negeri di beberapa tempat di Indonesia. Selain itu Munawwar juga pernah menjadi dosen Pendidikan Kader Ulama (PKU) Majelis Ulama Indonesia pusat pada tahun 1990 hingga tahun 1998.
B. Pemikian Prof. Said Agil Munawwar
Secara epistimologis, hadits dipandang oleh mayoritas umat islam sebagai sumber ajaran islam kedua setelah al-Qur’an. Sebab ia merupakan bayan (penjelas) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal (global), ‘am (umum) dan mutlaq (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadits dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hokum yang belum ditetapkan oleh al-Qur’an.[1]
Namun untuk memahami maksud suatu hadits secara baik terkadang relative tidak mudah, khususnya jika kita menjumpai hadits-hadits yang tampak saling bertentangan. Terhadap hal yang demikian, biasanya para ulama hadits menempuh metode tarjih (pengunggulan) atau nasakh-mansukh (pembatalan) dan atau metode al-Jam’u (mengkompromikan) atau tawaqquf (mendiamkan) untuk tidak mengamalkan hadits sampai ditemukan adanya keterangan, hadits manakah yang bisa diamalkan. Sikap mentawaqufkan atau mendiamkan hadits ini, masih bisa diberikan solusi dengan cara memberikan takwil atau interpretasi secara rasional terhadap hadits tersebut.[2]
Di samping itu, dalam diskursus ilmu hadits juga dikenal bahwa hadits itu ada yang memiliki asbabul wurud khusus, ada pula yang tidak.[3]untuk kategori pertama, yakni hadits-hadits yang memiliki sebab khusus kita dapat menggunakan perangkat ilmu yang disebut asbabul wurud dalam memahami maknanya. Persoalanya adalah bagaimana jika suatu hadits tidak memiliki asbabul wurud secara khusus. Disinilah pemikiran prof Said Agil tentang relevansi asbabul wurud, yakni adanya kemungkinan melakukan analisis pemahaman hadits (fiqhul hadits) dengan pendekatan historis, sosiologis, antropologis, bahkan mungkin juga pendekatan psikologis.
Dengan pendekatan-pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis, diharapkan akan mampu memberikan pemahaman hadits yang relative lebih tepat, apresiatif dan okomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Sehingga dalam memahami suatu hadits kita tidak hanya terpaku pada zhahirnya teks hadits, melainkan harus memperhatikan konteks sosio-kultural waltu itu.
Dengan demikian, hadits-hadits Nabi SAW. Sebagai mitra Al-Qur’an secara teologis juga diharapkan dapat member inspirasi untuk membantu menyelesaikan problem-problem yang muncul dalam masyarakat kontemporer sekarang. Karena bagaimanapun tampaknya kita sepakat.[4]
1. Pengertian Pendekatan Historis, Sosiologis dan Antropologis
Yang dimaksud dengan pendekatan historis dalam hal ini adalah suatu upaya memahami hadits dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadits itu di sampaikan Nabi SAW. Dengan kata lain, pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengaitkan antara idea tau gagasan yang terdapat dalam hadits dengan determinasi-determinasi social dan situasi historis cultural yang mengitarinya. Pendekatan model ini sebenarnya sudah dirintis oleh para ulama hadits sejak dulu, yaitu dengan munculnya ilmu asbab al-wurud yaitu suatu ilmu yang menerangkan sebab-sebab mengapa Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkanya.[5] Atau ilmu yang berbicara mengenai peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan yang terjadi pada hadits disampaikan oleh Nabi SAW.[6]
Persoalanya adalah mengapa kita perlu mengetahui asbabul wurud? Tidak lain karena asbabul wurud dapat dijadikan sebagai pisau bedah untuk menganalisis, menentukan takhsis (pengkhususan) dari yang ‘am, membatasi yang mutlak, merinci yang global dan menentukan ada tidaknya naskh (pembatasan hokum), menjelaskan ‘illat (alasan) ditetapkanya hokum dan membantu menjelaskan hadits yang musykil (sulit dipahami).[7]
Pendekatan historis menekankan pada pertanyaan mengapa Nabi SAW bersabda demikian? Dan bagaiman kondisi historis-sosio-kultural masyarakat dan bahkan politik pada masa itu?, serta mengamati proses terjadinya. Adapun pendekatan sosiologi[8] menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada prilaku itu. Sedangkan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola prilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia.[9]Kontribusi pendekatan antropologis adalah ingin membuat uraian yang meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan waktu dan ruang.[10]
Kalaupun kita mencoba menggambarkanya dengan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis secara sintetik, maka hadits yang juga merupakan fenomena keagamaan dan yang berakumulasi pada perilaku manusia dapat didekati dengan menggunakan ketiga model pendekatan tersebut, sesuai konteks masing-masing. Tegasnya, pendekatan historis, sosiologis dan antropologis dapat disebut sebagai asbabul wurud ‘am (asbabul wurud secara makro).
Dengan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis diharapkan akan memperoleh suatu pemahaman baru yang relative lebih apresiasip terhadap perubahan masyarakat (social change) yang merupakan implikasi dari adanya perkembangan dan kemajuan sains teknologi. Sudah barang tentu hal ini merupakan suatu “ijtihad” yang bersifat “human contruction” (bikinan manusia yang nota benenya bisa benar, bisa salah. Kalaupun benar, kebenaranya tetap relative dan nisbi serta masih debatable (dapat diperdebatkan), namun jika keliru, kita tetap akan dapat satu pahala.
2. Aplikasi Pemahaman Hadits Pendekatan Historis Sosiologis dan Antropologis.
Hadits Tentang Larangan Wanita Bepergian Sendirian
قال النبي صلي الله عليه و سلم : لاتسافرامرأة إلا ومعها محر م [11]
Artinya:
“Tidak dibolehkan seorang perempuan (bepergian jauh-jauh) kecuali ada seorang mahram bersamanya.” (H.R. al-Bukhori dan Muslim)
Hadits tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab Syarh Muslim dipahami oleh jumhur ulama sebagai suatu larangan bagi wanita untuk bepergian yang bersifat sunnah atau mubah, tanpa disertai mahram atau suaminya. Sedangkan bepergian yang bersifat wajib, seperti menunaikan ibadah haji, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah dan didukung oleh mayoritas ulama hadis, adalah wajib hukumnya wanita yang mau haji, harus disertai mahram atau suaminya. Namun mwnurut Imam Malik, al-Auza’i dan As-syafi’i tidak wajib. Mereka hanya mensyaratkan” keamanan” saja. Keamanan itu bisa diperoleh dengan mahram atau suami atau wanita-wanita lain yang terpecaya (tsiqat)[12]
Menurut prof. Said Agil Munawwar hadits tersebut tidak mempunyai asbabul wurud khusus. Sementara, jika kita melihat kondisi historis dan sosiologis masyarakat saat itu, sangat mungkin larangan itu dilatar belakangi oleh adanya kekhawatiran nabi SAW akan keselamatan perempuan, jika dia bepergian jauh tanpa disertai suami atau mahram. Mengingat pada masa itu, ketika seseorang bepergian, ia biasa menggunakan kendaraan onta, bighal (sejenis kuda) maupun keledai dalam perjalanannya. Mereka sering kali harus mengarungi padang pasir yang sangat luas, daerah-daerah yang jauh dari manusia. Disamping itu, system nilai yang berlaku pada saat itu, wanita dianggap tabu atau kurang etis jika pergi jauh sendirian.[13] Dalam kondisi seperti itu tentunya seorang wanita yang bepergian tanpa disertai suami ataupun mahramnya dikhawatirkan keselamatan dirinya, atau minimal nama baiknya akan tercemar.
Oleh sebab itu, jika kondisi masyarakat sekarang sudah berubah, dimana jarak yang jauh sudah tidak lagi menjadi masalah, ditambah dengan adanya system keamanan yang menjamin keselamatan wanita dalam bepergian, maka sah-sah saja wanita pergi sendirian untuk menuntut ilmu, menunaikan haji, bekerja dan lain sebagainnya.
Dengan demikian, disini perlu reinterpretasi baru mengenai konsep mahram. Mahram tidak lagi harus dipahami sebagai person akan tetapi system keamanan yang menjamin keselamatan bagi kaum wanita itu. Pemahan semacam ini tanpaknya akan lebih konstektual, apresiasip dan okomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Sehingga kita tidak hanya terpaku dan terjebak oleh bunyi teks hadits yang kadang cenderung bersifat cultural, temporal, dan lokal.
Pemahaman yang mempertimbangkan konteks historis, sosiologis dan antropologis cenderung lebih lentur, kenyal,dan elastic. Namun kemudaian hal ini, tidak berarti kita harus kehilangan ruh semangat nilai yang terkandung dalam hadits tersebut. Konstektualisasi pemahan hadits tersebut diatas, didukung oleh data yang falid dari kandungan hadis yang marfu’ (sampai Rasulullah) yang diriwayatkan oleh bukhari dari ‘Adi bin Hatim, sebagai berikut:
قال النبي صلي الله عليه وسلم: يو شك أن تخرج التظعينه تقدم البيت (الكعيه) لا زوج نعها.[14]
Artinya:
" akan datang masanya, seorang perempuan penunggang onta pergi dari kota Hirah menuju ka’bah tanpa seorang suami bersamanya." (HR. Bukhari).
Hadits tersebut sesungguhnya memberikan prediksi tentang datangnya masa kejayaan Islam dan keamanan diseantero dunia dan sekaligus juga menunjukkan dibolehkannya wanita bepergian tanpa suami atau mahram. Demikian kesimpulan Ibnu Hazm sebagai mana dikutip oleh yusuf Qardhawi.[15]
C. Karya Prof. Said Agil Munawwar
· Kepemimpinan Wanita dan Perspektif Islam,
· Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam, Permasalahan Sosial Umat Islam Indonesia
· Agama Sebagai Payung Berteduh
· I’jaz al-Qur’an dan Metodologi Tafsir
· Ushul Fiqih
· Sejarah dan Suatu Pengantar Ilmu Takhrij Hadits
· Sejarah dan Suatu Pengantar perkembangan Hokum Islam Mazhab Syafi’i
· Study Qaul Qadim dan Qaul Jadid
· Dimensi-Dimensi kehidupan Dalam Perspektif Islam
Karya-karya ilmiah di bangku kuliahnya adalah Naql Ad-Dam wa Atsaruhu fi Asy-Syariah Al-Islamiyyah (skripsi S1, 1977), Al-Khamru wa Dhararuhu fi Al-Mujtama` Al-Insani (Skripsi S1 di Universitas Islam Madinah, 1979), An-Nadb wa Al-Karahah (Tesis S2, Universitas Ummul Qura, Makkah, 1983), dan Tahqiq Kitab Hawi Al-Kabir li Al-Mawardi (disertasi doktor, Universitas Ummul Qura, Makkah, 1987). Selain menulis buku, artikel, dan makalah seminar, ia pun telah menerjemahkan lebih dari 25 kitab berbahasa Arab.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
Perlunya pemahaman hadits (fiqhul hadits)dengan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis untuk menemukan pemahaman hadits yang relative lebih tepat, dinamis, akomodatif dan apresiasif terhadap perubahan serta perkembangan zaman, sekaligus pendekatan tersebut sebagai pisau analisis dalam memahami hadits-hadits yang memiliki asbabul wurud secara khusus.
Namun demikian, bukan berarti pendekatan-pendekatan tersebut tanpa kelemahan. Ia mempunyai kelemahan-kelemahan, antara lain adanya kesan ingin mencocok-cocokan hadits dengan kondisi perubahan masyarakat dan kondisi zaman, sehingga kita kadang bisa terjebak pada pemahaman yang terlalu dipaksakan. Untuk itu, diperlukan kecermatan dalam penggunaan pendekatan tersebut. Dan pada akhirnya, bagaimanapun upaya semacam itu merupakan human construction yang kebenaranya tetap relative, nisbi dan masih bisa diperdebatkan (debatable).
B. Saran
Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari sahabat-sahabat sekalian. Semoga apapun yang kita usahakan akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Amiin
DAFTAR PUSTAKA
Media bil Hikmah, antara sunnah, hadits, khabar, dan atsar, http//: http://www.mediabilhikmah.com
Dewan Redaksi. Ulumul hadits: pembagian hadits secara umum. http//: http://www.cybermq.com
Agil Said Munawwar, Study Kritis Hadits Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual Asbabul Wurud. Pustaka Pelajar:Yogyakarta. 2001
[1] Wahbah Zuhaili, al-Qur’an al-Karim wa Bunyatuhu at-Tasyri’iyyah wa Khadhariyyah, Beirut:Dar al-Fikr, 1993), hlm. 48-49
[2] Orang yang pertama kali berbicara mengenai ilmu takwil al-Hadits adalah Imam asy-Syafi’I (w. 204 H), beliau menyusun kitab Mukhtalifil Hadits. Lihat Muhammad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir:Syirkah Misyriyyah,t.th.), p. 471.
[3] Ibnu Hamzah al-Husaini ad-Dimasyki, al-Bayan wa at-Ta’rif fi Asbabi Wurudi al-Hadits asy-syarif, Jilid 1 (Beirut:Dar ast-Tsaqafahal-Islamiyyah,t.th.), hlm.32.
[4] Sejarah mencatat bahwa pada zaman Nabi sampai zaman khulafa’ ar-Rasyidun dan Bani Umayyah belum terlihat secara jelas adanya kalangan yang menolak sunnah atau hadits sebagai salah satu sumber ajaran islam. Barulah pada awal masa Bani Abbasiah (750-1258M) muncul sekelompok kecil orang yang berpaham inkar-as-sunnah. Lihat: Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995),hlm.14.
[5] M. Hasbi ash-Shidiqi, Sejarah Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 163-164.
[6] Defenisi tersebut merupakan analogi dari defenisi Aabab an-Nuzul al-Qur’an. Lihat as-Suyuti, Lubab an-Nuqul dalam Hasyiah Tafsir al-Jalalain (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga,t.th.), p.5.
[7] Untuk melihat contoh-contohnya, silahkan baca Jalaluddin as-Suyuti, al-Luma’ fi Asbabil Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr t.th.),p.5.
[8] Sosiologi di defenisikan sebagai “ the sythesizing and generalizing science of man in all his social relationships. The focus of attention upon social relationship make sociology a distinctive field….” Keterangan selanjutnya baca. Arnold W. Green, sociology an Analysis of Life in Modern Society, (New York: Toroto 1960), hlm. 1-5. Menurut Friediche seorang sosiolog Naturalism, Nabi dari suatu agama sesungguhnya seseorang yang mengkritik dunia sosialnya dan mendengungkan kebutuhan perubahan (reformasi) untuk mencegah malapetaka di masa mendatang. Lihat Margaret M. Polama, Sosiologi Kontemporer, (Yogyakarta: CV Rajawali t.th.),hlm.13.
[9] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, (Editor), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar. (Yogyakarta:Tiara Wacana, 1991),hlm.1
[10] S. Menno, Antopologi Perkotaan, (Jakarta:CV,Rajawali, 1992), hlm.10-11.
[11] Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Imam Muslim dengan berbagai redaksi yang berbeda-beda namun maknanya sama. Lihat: Imam Bukhori, Sahih al-Bukhori, Jilid 1. Bab Kam Yaqsuru as-Shalah, No 1036, 1037 dan 1038. (Beirut: Dar Ibnu Kasir, 1990) hlm. 368-369, dan Imam Muslim, Shahih al-Muslim Jilid 1, hadits No: 1338, 1339 dan 1140 pada Kitab al-Hajj (Beirut: Dar al-Fikr t.th) hlm., 2115-2116
[12] Muhyiddin Abu Zakariyya bin Syaraf an-Nawawi, Shahihul Muslim Syarah an-Nawawi, Jilid V (Beirut:Darul Kitab t.th.),hlm. 104-105
[13] Bandingkan dengan Yusuf Qordhawi, kaifa nata’ammalu ma’a as-sunnah an-nabawiyyah Muhammad Al- Baqir (penterj). (Bandung: karisma 1993),hlm.163.
[14] Muhyidin Abu Zakariyya bin Syaraf an-Nawawi, Shahihul Muslim Syarah an-Nawawi, Jilid V (Beirut:Darul Kitab t.th.), hlm. 104-105
[15] Yusuf Qardhawi op.cit.,hlm. 137.
0 komentar:
Posting Komentar