Oleh: Jumardi
I. Teks Hadits
1. Hadits yang menyatakan bahwa Nabi pernah shalat setelah Ashar
Dari Aisyah, dia berkata, "Ada dua rakaat shalat yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah SAW, beliau selalu mengerjakannya baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi ; yaitu dua rakaat sebelum Subuh dan dua rakaat setelah Ashar.”
Hadits ini terdapat dalam Shahih Bukhari, kitab mawaqit, bab ke 33,Shahih Muslim, kitab Musafirin, 200., Nasa’i, Kitab Mawaqit, 36.
2. Hadis tidak ada shalat setelah shalat Ashar
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( لَا صَلَاةَ بَعْدَ اَلصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ اَلْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ اَلشَّمْسُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلَفْظُ مُسْلِمٍ: ( لَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ اَلْفَجْرِ )
Dari Abu Said Al-Khudry bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak ada shalat setelah shalat Shubuh hingga matahari terbit dan tidak ada shalat setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam." Muttafaq Alaihi. Dalam lafadz Riwayat Muslim: "Tidak ada shalat setelah shalat fajar."
Hadits ini muttafaq alaih, shahih. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Mawaaqit ash-sholaah, 586. Dan Muslim dalam kitab Sholatul Musafiriin, 827.
II. Penjelasan keta’arudhan Hadits
Beberapa hadits yang terkait dengan masalah ini
Dar i Ibnu Umar , bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Hendaknya seseorang dari kamu tidak sengaja (menunggu) sehingga dia shalat ketika matahari terbit atau terbenam." (HR. Bukhari, hadits ke 585)
Dari Abu Sa'id Al Khudri , dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Tidak ada shalat setelah shalat Subuh hingga matahari meninggi, dan tidak ada shalat setelah shalat Ashar hingga matahari terbenam'." (HR. Bukhari hadits ke 586)
Dari Muawiyah, dia berkata, "Kalian melakukan suatu shalat, sungguh kami telah menyertai Rasulullah dan tidak melihat beliau melakukannya . Sungguh beliau melarang keduanya , yakni dua rakaat (sunah) setelah Ashar. "(HR. Bukhari hadits ke 587)
Dari Abu Hurairah, dia berkata, "Rasulullah SAW melarang dua shalat . yaitu setelah Subuh hingga matahari terbit dan setelah Ashar hingga matahari terbenam. "(H.R. Bukhari hadits ke 588).
Ibnu Hajar dalam Fathul Baari menjelaskan hadits di atas sebagai berikut;
لا يتحرى (tidak sengaja) Tidaklah bertentangan antara perkataan dalam قبل الغروب (sebelum matahari terbenam). Dengan hadis عند الغروب (ketika matahari terbenam).[1]
Kemudian beliau melanjutkan, kata فيصلى (lalu ia shalat). Lafazh ini dibaca nashab, berharakat fathah. Yang berarti menafikan perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan dan shalat sekaligus. Atau boleh juga dibaca rafa’, berharakat dhommah,
لا يتحرى احدكم الصلاة في وقت كهذا فهو يصلي فيه (hendaknya seseorang dari kalian tidak sengaja melakukan shalat pada waktu seperti ini, kemudian dia shalat di waktu itu).[2]
Ibnu Kharuf berkata, "Dalam lafazh يصلي bisa dibaca dalam tiga bentuk; yaitu jazm (sukun) mengikuti athf (aneksasi ) sehingga berbunyi لا يتحرى ولا يصلي (tidak sengaja dan tidak shalat), atau dibaca rafa' (dhammah) sebagai kalimat yang terpisah (qath') لا يتحرى فهو يصلي (tidak sengaja, maka dia shalat), atau dibaca nashab (fathah) لا يتحرى مصليا (tidak sengaja, sedang dia dalam keadaan shalat) sebagai jawab nahyi (larangan) tersebut.[3]
Ath-Thaibi berkata, "Kata لا يتحرى adalah nafyi (peniadaan) yang berarti nahyi (larangan) . Sedangkan kata يصلي dibaca nashab (fathah), karena berkedudukan sebagai jawabannya . Seakan-akan dikatakan, 'Hendaknya tidak dengan sengaja' . Lalu dikatakan, 'mengapa? ' Maka dijawab, 'Khawatir dia akan melakukan shalat' . Bahkan mungkin juga perkiraan kalimatnya selain itu." Riwayat Al Qa'nabi dalam kitab Al Muwaththa' menyebutkan,ان يصلي لا تحرى احد كم (hendaknya seseorang dari kalian tidak sengaja untuk shalat), maksudnya tidak sengaja shalat.[4]
لا صلاة (Tidak ada shalat) Ibnu Daqiq Al Id berkata, "Bentuk nafyi (peniadaan) dalam lafazh syari ' ketika masuk kepada fi'il (kata kerja) , maka lebih baik dimaksudkan kepada penafian fi'il (perbuatan) syar'i , bukan inderawi. Sebab jika kita maksudkan penafian perbuatan inderawi , maka dalam membenarkannya kita membutuhkan kepada idhmar (tidak disebutkan secara tekstual), padahal pada dasarnya hal itu tidak ada. Namun jika kita mengartikannya sebagai penafian perbuatan syar'i , maka tidak membutuhkan kepada idhmar. Inilah letak lebih baiknya. Dengan demikian, makna penafian tersebut adalah larangan (nahyi). Adapun penafsirannya adalah لا تصلوا (janganlah kalian shalat)".[5]
Abu Fath Al Ya'muri menceritakan dari sekelompok salaf bahwa mereka berkata, "Larangan shalat setelah Subuh dan Ashar adalah untuk memberitahukan bahwa tidak ada shalat sunah setelah kedua shalat tersebut. Larangan itu bukan larangan "waktu " seperti pada waktu terbit dan terbenamnya matahari. " Hal ini diperkuat oleh riwayat Abu Daud dan Nasa' i dengan sanad hasan (baik) dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Jangan shalat setelah Subuh dan Ashar, kecuali bila matahari bersinar bersih." Dalam satu riwayat dikatakan, "matahari meninggi".
Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan "setelah" bukan untuk keumumannya, tetapi maksudnya adalah waktu terbit dan waktu terbenam atau waktu yang mendekati keduanya.
Adapun kesesuaian antara hadits adalah bahwa shalat yang dilarang adalah tidak sah hukumnya, maka hendaknya orang mukallaf tidak memaksudkan dan melakukan shalat tersebut, karena orang yang berakal tidaklah menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak mendatangkan manfaat baginya.
لَا صَلَاةَ بَعْدَ اَلصُّبْحِ (Tidak ada shalat setelah Subuh), yakni setelah shalat Subuh.
عن معاوية (dari Muawiyah) dalam riwayat Al Ismail disebutkan, خطبنا معاوية (Muawiyah menceramahi kami).
يصليها Shalat keduanya, artinya dua rakaat . Sedangkan menurut Al Hamawi dikatakan yakni shalat . Demikian perbedaan antara perawi dalam kalimat عنهماdan عنها Perkataan Muawiyah tersebut menunjukkan bahwa orang yang diceramahi telah shalat sunah dua rakaat setelah Ashar , sebagaimana mereka shalat dua rakaat setelah Zhuhur. Adapun penafian penglihatan shalat Nabi SAW terhadap kedua rakaat tersebut telah ditetapkan oleh selainnya, padahal ketetapan harus lebih didahulukan daripada penafian. Dalam bab berikutnya akan disebutkan perkataan Aisyah, كان لا يصليها في المسجد (beliau tidak shalat keduanya (rakaat) di dalam masjid). Namun riwayat yang menetapkannya tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang menjelaskan tentang larangan, karena hadits-hadit s yang menetapkan mempunyai sebab yang akan dijelaskan pada bab berikutnya. Kemudian setelah riwayat-riwayat tersebut ditemukan dengan riwayat-riwayat yang mempunyai sebab, maka akan tinggal keumumannya, sehingga maksud larangan yang ada adalah apa yang tidak mempunyai sebab.
Adapun orang yang melihat keumuman larangan tersebut tidak mengkhususkannya dengan sesuatu yang mempunyai sebab, sehingga pengingkaran yang dilakukan oleh Muawiyah ditujukan kepada orang yang melakukan shalat sunah, sedangkan perbuatan tersebut harus dipahami sebagai suatu kekhususan. Maka, jelaslah bahwa yang pertama adalah lebih kuat.
Kemudian disini penulis paparkan beberapa hadits yang mendukung
Dari Kuraib, dari Ummu Salamah, dia berkata, "Nabi SAW pernah mengerjakan shalat dua rakaat setelah Ashar , beliau mengatakan, 'Orang-orang utusan Abdul Qais tadi menyibukkanku, sehingga aku belum mengerjakan (shalat sunah) dua rakaat setelah Zhuhur'."(H.R. Bukhari)
Dari Aiman , bahwa ia mendengar Aisyah mengatakan, "Demi Dzat yang telah mewafatkan beliau, beliau tidak pernah meninggalkan keduanya hingga beliau bertemu Allah (meninggal dunia) . Beliau tidak bertemu Allah Ta'ala hingga berat terhadap shalat. Seringkali beliau shalat sambil duduk, yakni dua rakaat setelah Ashar . Nabi SAW pernah mengerjakan dua rakaat tersebut , tapi beliau tidak mengerjakannya di masjid karena khawatir akan memberatkan umatnya. Beliau menyukai keringanan bagi mereka. "(H.R. Bukhari hadits ke 590)
Aisyah berkata, "(wahai ) anak saudaraku, Nabi tidak meninggalkan satu kalipun dua rakaat setelah Ashar di sisiku." (H.R. Bukhari, 591)
Dar i Aisyah, dia berkata, "Ada dua rakaat shalat yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah SAW, beliau selalu mengerjakannya baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi ; yaitu dua rakaat sebelum Subuh dan dua rakaat setelah Ashar. " (H.R. Bukhari, 592)
Dari Aisyah, dia berkata, "Nabi SAW tidak pernah datang kepadaku dalam suatu hari setelah shalat Ashar , kecuali (terlebih dahulu) beliau shalat dua rakaat. "(H.R. Bukhari, 593)
Ibnu Zain bin Al Manayyar mengatakan, bahwa secara lahiriah shalat sunah yang tidak mempunyai sebab khusus tidak termasuk dalam masalah ini . Dia juga mengatakan, bahwa rahasia kalimat "dan sepertinya " adalah untuk memasukkan shalat sunah rawatib dan lainnya dalam cakupan ini.
Kuraih adalah budak Ibnu Abbas yang telah dimerdekakan. (dari Ummu Salamah...) ini adalah bagian hadits panjang yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bab "Jika Beliau Ingin Mengatakan Ketika Shalat , maka Beliau Memberi Isyarat dengan Tangannya " sebelum kitab "Jenazah " dimana di bagian akhir disebutkan, (Utusan Abdul Qais datang kepadaku sehingga menyibukkan diriku sampai aku tidak sempat melaksanakan shalat sunah dua rakaat setelah Zhuhur, maka kedua rakaat tersebut adalah ini {yang sedang aku laksanakan}).
Dalam riwayat Aisyah disebutkan, (Demi Dzat yang telah mewafatkan beliau, beliau tidak pernah meninggalkan keduanya hingga beliau bertemu Allah). Dalam riwayat yang lain, meninggalkan satu kalipun dua rakaat setelah Ashar di sisiku). Dalam riwayat lain Aisyah juga mengatakan (Rasulullah SAW tidak pernah juga mengatakan, (Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan dua rakaat, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi). Begitu juga dalam riwayat terakhir disebutkan, (Nabi SAW tidak pernah datang kepadaku dalam suatu hari setelah shalat Ashar, kecuali {terlebih dahulu} beliau shalat dua rakaat).
Riwayat-riwayat tersebut dijadikan dalil oleh orang-orang yang membolehkan shalat sunah setelah Ashar secara mutlak, selama tidak sengaja shalat ketika matahari terbenam, dan pendapat para madzhab dalam masalah ini telah dijelaskan. Adapun orang yang mengatakan makruh secara mutlak membantah pendapat ini seraya mengatakan, bahwa perbuatan Nabi ini menunjukkan bolehnya melakukan qadha" shalat rawatib. Sedangkan istiqamahnya Nabi untuk melakukan shalat sunah tersebut merupakan kekhususan beliau, berdasarkan riwayat Dzakwan, dimana Aisyah bercerita kepadanya , "Bahwa Nabi SAW shalat (sunah) setelah Ashar lalu melarangnya, dan puasa wishal lalu melarangnya." (HR. Abu Daud)
Adapun dalam riwayat Muslim dari Abu Salamah, dari Aisyah, dia berkata, (Apabila beliau melakukan suatu shalat, maka beliau menetapkannya). Al Baihaqi berkata, "Kekhususan Nabi dalam hal ini , adalah istiqamah terhadap hal tersebut bukan mengqadha " shalat . Adapun riwayat Dzakwan dari Ummu Salamah dalam kisah ini , bahwa dia berkata, "Saya bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah kita harus mengqadha' keduanya ketika terlewatkan?' Rasul berkata, 'Tidak'." adalah riwayat yang lemah dan tidak dapat dijadikan dalil .
Ibnu Hajar mengatakan: “Imam Ath-Thahawi meriwayatkan hadits tersebut dan menggunakannya sebagai hujjah bahwa hal itu termasuk kekhususan beliau SAW, meskipun dalam hal ini banyak perbedaan.
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Jarir , dari Atha ' bin Sa'ib, dari Sa'i d bin Jubair , dar i Ibnu Abbas , dia berkata, “shalat dua rakaat (sunah) setelah Ashar, karena ada orang yang menghadap beliau dengan membawa harta, sehingga beliau tidak sempat shalat dua rakaat setelah Zhuhur. Maka beliau shalat setelah Ashar, dan tidak mengulanginya). Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits hasan (baik) .
Ibnu Hajar mengatakan, bahwa hadits di atas adalah riwayat Jarir dari Atha', dimana Jarir telah mendengarnya dari Atha ' setelah ingatan dan hafalannya terganggu. Seandainya hadits ini shahih, maka hadits ini menjadi bukt i atau syahid untuk hadits Ummu Salamah.
Namun secara lahiriah kalimat "kemudian beliau tidak mengulanginya" bertentangan dengan hadits Aisyah dalam bab ini . Maka penafian tersebut adalah berdasarkan pengetahuan seorang perawi , karena dia tidak melihat hal itu. Imam Nasa'i juga meriwayatkan dari jalur Abu Salamah, dari Ummu Salamah, dia berkata "Nabi SAW pernah sekali shalat dua rakaat setelah Ashar di rumahnya (Ummu Salamah)." Dalam riwayatnya yang lain disebutkan, (Saya tidak pernah melihat beliau shalat keduanya (sunah dua rakaat setelah Ashar) sebelum dan sesudahnya.).
III. Kesimpulan
Untuk mengompromikan hadits tersebut , maka dapat dikatakan bahwa Rasulullah SAW tidak shalat sunah setelah Ashar kecuali di rumahnya . Untuk itu, Ibnu Abbas dan Ummu Salamah tidak melihat beliau. Hal itu diisyaratkan oleh hadits Aisyah dalam riwayat pertama, (Rasulullah SAW tidak shalat keduanya di masjid, karena khawatir akan memberatkan umatnya). (bahwa ia mendengar Aisyah berkata, "Demi Dzat yang telah mewafatkan beliau.")
Dalam riwayat Al Baihaqi dari jalur Ishaq bin Hasan, dan Al Ismaili dari jalur Abu Zar'ah , keduanya dari Abu Nu'aim -guru (syaikh)nya Imam Bukhari - bahwa dia masuk menemui Aisyah dan bertanya kepadanya tentang shalat dua rakaat setelah Ashar? Maka Aisyah menjawab, "Demi Dzat yang mewafatkan beliau (Rasulullah SAW). " Ditambahkan bahwa , "Aiman berkata kepada Aisyah, 'Sesungguhnya Umar telah melarang dan memukul orang yang melakukannya' . Maka Aisyah berkata, 'Kamu benar , tapi Nabi telah melakukannya'. "
Hadits lain tentang hal itu (dari Umar ) ada dalam riwayat Kuraib dari Ummu Salamah yang telah disebutkan dalam bab "Jika Ingin Berbicara Dalam Shalat" . Di awal hadits dari Kuraib disebutkan, bahwa Ibnu Abbas dan Miswar bin Makhramah serta Abdurrahman bin Azhar mengutus Kuraib menghadap Aisyah, mereka berkata, "Ucapkan salam kepadanya (Aisyah) dari kami semua dan tanyakan kepadanya tentang shalat (sunah) dua rakaat setelah Ashar . Katakan pula kepadanya , 'Kami diberitahu bahwa Anda shalat dua rakaat setelah Ashar . Padahal Nabi telah melarangnya?' " Ibnu Abbas berkata, "Saya dan Umar memukul orang-orang yang mengerjakan shalat (sunah) dua rakaat setelah Ashar. "
Abdurrazzaq meriwayatkan dari hadits Zaid bin Khalid tentang sebab Umar memukul orang yang shalat dua rakaat setalah Ashar . Abdurrazaq berkata dari Zaid bin Khalid, "Sesungguhnya Umar melihatnya melakukan shalat setelah Ashar, lalu dia memukulnya . Umar berkata, 'Wahai Zaid, seandainya saya tidak khawatir orang-orang akan shalat sampai malam, maka saya tidak memukul'." Umar melihat, bahwa larangan shalat setelah Ashar adalah karena adanya kekhawatiran orang-orang akan sengaja shalat ketika matahari terbenam. Hal ini sesuai dengan perkataan Ibnu Umar yang lalu dan apa yang dinukil dari Ibnu Al Mundzir.
Yahya bin Bukair meriwayatkan dari Laits, dari Urwah, dari Tamim Ad-Dari , seperti hadits Zaid bin Khalid dan jawaban Umar yang disebutkan, "Tetapi saya khawatir akan datang setelahmu orang-orang yang shalat antara Ashar dan Maghrib sampai pada waktu yang dilarang oleh Rasulullah untuk melaksanakan shalat." Ini juga menunjukkan apa yang telah dikatakan.
Aisyah memahami dari ketekunan Nabi untuk melaksanakan shalat sunah dua rakaat setelah Ashar , bahwa larangan Nabi shalat setelah Ashar hingga terbenam matahari adalah khusus bagi orang yang dengan sengaja shalat ketika terbenam matahari, dan bukan larangan secara mutlak. Karenanya Aisyah mengatakan seperti apa yang diriwayatkan darinya, dimana Aisyah shalat sunah setelah Ashar .
Imam Bukhari juga meriwayatkan dalam kitab tentang '"haji" dari jalur Abdul Aziz bin Rufai' , dia berkata, "Saya melihat Ibnu Zubair shalat dua rakaat setelah Ashar . Aisyah memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah SAW tidak masuk ke rumahnya kecuali shalat dua rakaat (setelah Ashar) . Sepertinya Ibnu Zubair memahami sebagaimana yang dipahami oleh Aisyah. "
Imam Nasa' i meriwayatkan, bahwa Muawiyah bertanya kepada Ibnu Zubair tentang hal tersebut . Kemudian ia mengembalikan hadits tentang hal tersebut kepada Ummu Salamah, maka Ummu Salamah menyebutkan tentang sesuatu yang menyibukkan beliau sehingga tidak sempat melaksanakan shalat dua rakaat tersebut.
Perkataan Aisyah, "Rasul tidak meninggalkannya sampai beliau wafat", juga perkataannya , "Rasul tidak meninggalkannya", serta, "Nabi tidak datang setelah Ashar kecuali beliau shalat dua rakaat."
Yang dimaksud adalah waktu setelah Zhuhur , dimana beliau terlalu sibuk dan tidak sempat shalat dua rakaat sehingga beliau melaksanakannya setelah Ashar. Namun yang perlu diperhatikan bahwa tidak ada riwayat yang menyatakan, bahwa Nabi shalat dua rakaat setelah Ashar sejak diwajibkannya shalat sampai akhir hayat beliau. Bahkan hadits Ummu Salamah menunjukkan, ketika Nabi SAW menjelaskan bahwa beliau mengqadha " shalat sunah dua rakaat setelah Zhuhur diwaktu (setelah) Ashar , maka sebelumnya beliau tidak pernah shalat dua rakaat setelah Ashar .
Daftar Pustaka
Aj. Wensinck. Mu’jam al-Mufahras Lil alfazhi al-Hadits al-Nabawiy jilid 4. Maktabah bi rel, Leiden. 1936.
Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani. Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari. Maktabah Darussalam, Riyadh Cetakan I, tahun 1418 H./1997M
An-Nawawi, Muhyiddin. Syarah Shahih Muslim. Dar-el Ma’rifah, Beirut, Libanon.
________al-Ushul min 'Ilmil Ushul, diterjemahkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin (tanpa tahun).
0 komentar:
Posting Komentar