Pages

Labels

Minggu, 15 Januari 2012

Pemikiran Hadits Prof. Dr. H. Daniel Djuned, M.A.


Oleh : M. Dzulkifli                            
BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai sumber ajaran islam yang kedua[1], hadis memiliki posisi yag sentral dalam studi islam. Terbukti kajian terhadap hadis tidak pernah berhenti sejak masa transmisi, periwayatan, pengkodivisian, pensyarahan dan bahkan sampai sekarang. Lebih dari itu, kajian terhadap hadis tidak hanya populer di kalangan sarjana muslim saja, melainkan juga di kalangan sarjana barat.
Setelah usai perang salib sebagian (orang) barat memiliki siasat untuk meruntuhkan kaum muslim dengan memberikan keraguan dan kejanggalan dalam sumber yang menjadi pedoman kaum muslim. Berbagai usaha dikerahkan untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk dengan mencanangkan adanya studi tentang keislaman dan ketimuran. Sarjana barat yang menggeluti dunia keislaman dan ketimuran akhirnya dikenal dengan orientalis. Seiring dengan semakin banyaknya orientalis yang menkaji tentang keislaman dan ketimuran, tidak dapat disangkal bahwa pemikiran yang berkembang juga merambah ke duania islam. Banyak intelektual-sarjana muslim yang mulai tergugah untuk mengkaji lebih jauh tentang pemikiran mereka. Sebagian mereka memiliki tujuan untuk mengkaji dan mengkritisi pemikiran orientalis dan sebagian yang lain ada yang terjebak dalam lingkar kerja (doktrin) mereka. Diantara para peneliti-intelektual muslim yang ikut menggeluti pemikiran orientalis yang menurut sebagian orang terpengaruh dengan para orientalis.

Tulisan ini berusaha mengulas pemikiran “baru” Prof. Dr. H. Daniel Djuned, M.A kajian hadis melaluiIlmu Hadis Paradigma baru dan Rekonstruksi ilmu hadis. dari kitab tersebut menjadi salah satu daya tarik tulisan ini, karena di samping kandungannya yang begitu mempesona pembaca.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Sekilas Tentang Prof. Dr. H. Daniel Djuned, M.A.

            Prof. Dr. H. Daniel Djuned, M.A. lahir pada bulan juni 1954 di sawang II kecamatan sawang kabupaten Aceh selatan, provinsi Aceh. Merupakan dosen tetap pada Fakultas Ushuluddain IAIN Ar-Raniry, Banda Aseh. Jenjang pendidikan akademik yang pernah diikuti adalah : Program sarjana Srata satu (S1) pada fakultas syari’ah IAIN Ar-Raniry jurusan tafsir hadis yang diselesaikan pada tahun 1980. Program  Magister yang diselesaikan pada tahun 1987, dan program Doktor yang diselesaikan pada tahun 1989 di program pascasarjana IAIN syrif hidayatullah Jakarta, dalam bidang studi ilmu hadits Atas rekomendasi Prof.Dr. H.M. Quraish Shihab, ia ditunjuk sebagai Dosen tetap bidang Tafsir, hadis dan Ulumul Qur’an pada Program Pasca Sarjana IAIN Ar-raniry, Banda Aceh. Sejak Tahun 2003 ia diangkat Sebagai Guru Besar dalam bidang Tafsir. Jabatan Akademik yang pernah dipegangnya yaitu : Ketua Jurusan Tafsir Hadist, Pembantu Dekan II Fakultas Ushuludin sekaligus Asisten Direktur Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, selanjutnya menjabat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana IAIN Ar-raniry selama dua priode. Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuludin selama dua priode. Dalam Bidang Sosial, kemasyarakatan dan keagamaan, jabatan yang pernah diberdayakan antara lain : Ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah Aceh selam dua priode, Ketua komisi fatwa dan Hukum MUI Aceh (sebelum berubah menjadi MPU) sampai sekarang, dan aktiv sebagai salah seorang anggota Majlis Permusyawaratan Ulama Provinsi Aceh, menjadi salah seorang anggota Tim Bank BPD Syariah Aceh. Aktiv mengasuh pengajian Tafsir, hadits dan Fiqih diberbagai tempat termasuk pada salah satu surat kabar lokal. Pernah menterjemahkan beberapa buku bahasa Arab kedalam bahasa Indonesia, dan kitab sya’ir bahasa melayu kuno kedalam bahasa Indonesia. Ia termasuk salah seorang penulis entri untuk buku ensiklopedi islam terbitan depertemen Agaam RI. Beliau juga produktiv dalam menghasilkan beberapa karya Ilmiyah khususnya dalam Bidang Tafsir, hadits, Fiqih dan masalah-masalah social keagamaan lainnya, baik dalam bentuk buku, artikel, rubruk, makalah, baik untuk dipublukasikan maupuin untuk dipersentasikan dalam berbagai seminar regional dan nasional bahkan internasional, serta dimuat dalam berbagai surat kabar dan jurnal ilmiah seperti harian umum serambi Indonesia, Aceh Expres, Mimbar Hukum (Jakarta), jurnal Ar-raniry, Media syariah, subtansiah, dan lain-lain. Disamping itu, selama menjabat dua priode sebagai Ketua Jurusan Tafsir Hadits, ia dianggap berhasil mengembangkan jurusan tersebut menjadi program studi unggulan dan favorit dilingkungan IAIN Ar-raniry Banda Aceh.


B. Pemikiran Hadits Prof. Dr. H. Daniel Djuned, M.A

                        Hadis adalah “penyambung lidah” antara Nabi Muhammad SAW dan umatnya yang direntang sejarah panjang. Hadis dalam konteks ilmu sejarah merupakan teks atau manuskrip yang merekam segala perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW dan segala peristiwa yang lainnya. 
                        Tidak seperti teks sejarah lainnya yang hanya mengandung muatan cerita masa lampau, hadis merupakan sebuah sejarah Nabi Muhammad yang tidak hanya berisi cerita masa lampau, namun juga berisi teks risâlah ketuhanan yang meliputi prinsip hidup dan hukum dalam agama Islam. Karenanya, (matan) Hadis sangatlah terjaga, baik kevalidan dan keautentikannya.
                        Al-khatib merumuskan hadis sebagai semua yang diwariskan dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, taqrîr (pengakuan), atau sifat; baik sifat fisikal, maupun moral, ataupun sirah, baik sebelum menjadi Nabi atau sesudahnya.
                        Menjaga keutentikan hadis atau meyakini suatu hadis itu bukanlah perkara mudah, ber abad-abad jarak dan perubahan zaman mengharuskan sebuah hadis harus segera dibukukan, karena mengandalkan hafalan para sahabat tidaklah kekal. Penjagaan hadis dengan pembukuan ini diupayakan untuk mengenali mana hadis yang benar (shahîh/ hasan), dan mana hadis yang palsu (maudhu’). Metode penjagaan ini seiring zaman kemudian menjelma menjadi disiplin ilmu yaitu ilmu hadis.

                        Hadis sebagai disiplin ilmu, dapat dibedakan dalam dua aspek, yaitu narasi historis dan aspek teks. Yang pertama, dalam rangka ontologisnya (objek analisis) pengkaji berhadapan dengan fakta-fakta sejarah sebagai objek kajiannya yang dapat dibedakan, misalnya, dengan data-data kealaman atau metafisika. Sementara dalam dimensi epistemologisnya, pengkaji berhadapan dengan persoalan bagaimana data historis ini dianalisis sehingga menghasilkan sebuah bangunan pengetahuan sejarah yang memiliki tingkat kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (shahîh).
            Ilmu hadis disusun sebagai upaya pemahaman atas konteks tertentu, misalnya kapan Rasulullah menyampaikan berita atau bersikap, bertindak atau berperilaku, di mana, dalam kondisi bagaimana, kepada siapa beliau menyampaikan, dan sebagainya. 
                        Dalam penjagaan hadis dikenal dua metode, yaitu Dirâyah Hadîs dan Riwâyah Hadîs. Dirâyah Hadîs ialah sebuah metode penetapan ke-shahîh-an hadis melalui sanad. Sanad (ekstern) yakni sebuah mata rantai sejarah yang terdiri dari manusia-manusia (râwi) yang menghubungkan antara pencatat hadis dengan riwâyah (takhrjul hadîs), sedangkan Riwâyah Hadîs ialah metode dengan melihat teks (intern) dan konteks dari sebuah hadis, di dalam metode ini hadis dianalisis secara mendalam, baik dilihat dari logika isi ajarannya (teks/ matan) maupun tujuan ajarannya (konteks/ asbâb al-wurûd-nya).
                        Buku Ilmu Hadis Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu disusun sebagai upaya perumusan paradigma pemahaman hadis yang dikonstruksi dari dasar Al-Qur’an dan Hadis sendiri, serta perumusan analisis filosofis generasi awal yang terserak dalam berbagai macam kitab hadis, ulum Al-qur’an dan tafsir serta ushul Fiqh.
                        Dalam buku ini pemetaan beberapa perdebatan dalam memahami teks hadis pada zaman setelah Nabi Muhammad SAW dipaparkan dengan detail. Misalnya, ilmu hadis sebagai disiplin ilmu mungkin telah mampu merumuskan satu formula dalam menetapkan keautentikan hadis, namun hadirnya formula ini banyak menuai perdebatan dan perbedaan pendapat (khilâfiyah). Sejumlah kasus khilafiah dalam masyarakat Islam pada saat itu.
                        Di Indonesia khilâfiyah disebabkan oleh keminiman analisis filosofis terhadap ilmu hadis dan hadis itu sendiri dalam sebuah kerangka keilmuan yang jelas dan sistematis. Kenyataan lain, keminiman ilmu dan kekakuan tekstual dalam pemaknaan hadis membuat perbedaan pendapat ini semakin menganga.
                        Buku yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Daniel Juned, MA ini dilatarbelakangi kegelisahannya terhadap kajian hadis selama ini yang cenderung memfokuskan kajiannya hanya dari segi sanad hadits. Padahal, selain persoalan sanad, dalam membicarakan hadits yang tidak kalah pentingnya adalah pembahasan tentang matan hadits. Berangkat dari kegelisahan tersebut, Prof. Daniel Juned menawarkan paradigma baru dengan merekonstruksi pemikiran dan metodologi para ahli hadis (muhadditsun) dan fuqaha’ dibidang ilmu hadis di masalalu.
                        Menurutnya ada dua hal baru yang direkomendasikan untuk disikapi dan direspons oleh para pengkaji ilmu hadis, yakni metode Jawami’ al-Kalim dan dan Ta’awwul Qur’an dengan merujuk pada sumber primer al-Qur’an dan Hadis, agar dapat menemuakan hikmah dan kebenaran yang bersifat Ilahiah dan Profetik. Dengan metode ini, para pengkaji tidak terjebak pada pemahaman teks (matan) hadis yang parsial, ahistoris dan eksklusif, tanpa memperhatikan domain zamany, dan khithaby (kontekstual).
                        Dengan segala kekurangan yang dijumpai oleh kedua pembicara, buku ini akan lebih tepat kalau diposisikan sebagai motivator dan penggerak pembaruan terhadap pemikiran hadis terutama Gerakan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Oleh karena itu, penulis mengkritik para pengkaji hadis yang masih banyak mengangkat pola lama dengan mengedepankan Klaim kebenaran sepihak dan penuh interes ketika menghadapi problema hadis-hadis problematik-kontroversial (Musykil al-Hadis), Gharib al-Hadis dan Ikhtilafal-Hadits.

                        Kesalahpahaman dalam menangkap kandungan hadis, berakibat pada pengkerdilan terhadap Ideal Moral dan Maqashid an- Nash yang diinginkan sebuah matan (teks) hadis, terutama dalam menghadapi persoalan Tanawwu’ fi al-Ibadah),  yakni keragaman dalam praktik ibadah, sebagai contoh: jumlah raka’at dalam shalat tarawih, bacaan Qunut, ziarah kubur, bid’ah, shalat al-lail, amal terbaik dsb. Maka, dalam memahami hadis tidak terlepas dari konteks sosio-kultural, antropologi, geografis dengan melihat lebih jauh tentang sirah nabawiyah. Sehingga, dalam kasus-kasus tertentu yang seolah-olah bersumber dari hadis, sesungguhnya hanya bersifat lahiriyah(permukaan) saja,tidak bersifat hakiki.
                        Dalam persoalan demikian, jalan yang seharusnya ditempuh oleh para pengkaji bidang hadis adalah al-Jam’u (combining), dan at-Talfiq (kompromi), mungkin juga  tidak diselesaikan dengan Tarjih, Naskh dan Tawaqquf, yang selama ini diberlakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan dan institusi keIslaman.
                        Buku yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Daniel Juned, MA  yang berjudul paradigm baru dan rekontruksi ilmu hadis, dianarata tema-tema pokoknya adalah:
1. kedudukan hadis atau sunah dalam bingkai syariat dan filsafat Al-qur’an;
2. Rumusan makana hadis yang merupakan konsekuensi syahadat Rasul;
3.Cakupan makna dirayah hadis;
4.landasan epistemologi ilmu hadis;
5. Landasan metodologis analisis sanad;
6. Landasan metodologis analisis matan dan pemahaman hadis;
7. Sejumlah asumsi dasar dalam pemahaman hadis;
8. fakta ke-musykil-an dalam pemaknaan pemahaman hadis;
9. pemahaman hadis dalam konteks gharibul al-hadis;
10. pemahaman hadis dalam konteks ikhtilafu al-hads;
11. penyelesaian ikhtilaf dalam konteks ‘am-khash dan mutlaq-muqayyad serta fungsi                   asbab al-wurd di dalamnya;
12. penyelesaian ikhtilaf hadis dalam konteks nasakh;
13. penyelesaian ikhtilaf hadis dalam konteks tarjih;
15. pemahaman hadis dalam konteks ikhtilaf min jihhati al-mubah atau at-taawwu’ fi al-                ibadah;
16. sejumlah kaidah ilmu pendukung dalam pemahaman hadis, diantaranya asbab al-                      wurud, jawami’u al-kalim dan ta’awwul al-qur’an;
17. pemahaman hadis dalam konteks tafsir maudhu’i hadis sebagai sebuah metodologi pemahaman yang prospektif.



C. Landasan metodologis Analisis Teks Hadis
                        Dalam analisis teks hadis sebagai upaya menemukan pesan-pesan moral atau pesan agama yang terkandung di dalamnya, ada beberapa asumsi dasar yang perlu digaris bawahi. Tanpa landasan yang jelas dalam proses pemahaman, seseorang analisis tidak dapat menentukan pangkal tolak analisisnya dan tidak dapat memilih kasus-kasus kehadisan. Tanpa itu, dapat saja orang akan terjebak pada kasus yang sesungguhnya merupakan masalah marginal dalam agama dan mengabaikan atau tidak berkesempatan menelaah, memikirkan, dan mengembangkan hal-hal yang bersifat subtantif. Orang dapat terjebak dan disibukkan oleh warna kulit tanpa sempat menguak isinya.
                        Pada kasus-kasus yng bersifat kontekstual dapat saja orang terkungkung oleh formalisme  tekstual, atau sebaliknya pada kasus-kasus yang sangat tekstual dibolak-balik sehingga makna kesucian agama menjadi hilang. Karana itulah, kiranya sangat diperlukan sejumlah asumsi dasar atau postulasi keilmuan islam sebagai acuan dan titik awal kajian teks hadis. Di samping itu, sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa hadis dilihat dari teksnya ada yang dapat didekati lewat pendekatan rasional dan ada yang tidak karna berkaitan dengan persoalan metafiska sejumlah asumsi dimaksud diantaranya:
           
a. hadis sebagai teks agama  
                        Teks-teks hadis secara filosofis adalah teks-teks agama yang nilai kebenarannya didasari pada iman. Sebagai bagian dari agama, kebenaran subtantif yang tersurat dan tersirat dalam hadis Rasuluallah bersumber dari Allah, atau dalam bahasa lain bersifat wahyu, bukan hasil capaian akal Rasul. Beliau hanya berperan sebagai media dan terlibat dalam aspek verbalisasi atau teksasi subtansi kebenaran hadis tersebut. Dalam hal ini. Memang berbeda dengan Al-qur’an yang kebenaran isi dan redaksional teksnya bersumber dari Allah. Sementara hadis tidak demikian. Artinya, teks hadis tersebut tidak lepas dari dampak perjalanan waktu. Teks hadis dalam perjalanannya dari hulu ke hilir, dari guru pertama, Rasuluallah, sampai kepada pembukuan hadis telah mengalami imbasan sejarah dengan segenap konsekuensinya.
                        Kenyataan ini menyebabkan pemahaman sebuah teks memerlukan pendekatan yang sangat beraga. Dimensi historis tetap memiliki peranan  yang besar dalam pemahaman teks-teks hadis. Perubahan-perubahan yang terjadi pada jumlah terbesar hadis sebagai akibat riwayah dengan makna, misalnya, atau terjadinya pemenggalan-pemenggalan teks, atau hilangnya data-data historis (dalam bahasa ilmu hadis disebut tarjih al-isnad), sosiologis, antropologis, atau pun kontekstualitas hadis-hadis dimaksud, telah menyebabkan suatu kerumitan yang cukup signifikan dalam upaya memahami sejumlah kasus hadis dengan pemahaman yang menyakinkan. Karna itu, ikhtilaf dalam pemahaman teks hadis pada kasus-kasus sepeti itu tetap memerlukan sebuah fakta yang tidak dapat di hindari, dan hal ini sudah terjadi sejak sepeninggalan Rasul.
                        Berdasarkan kenyataan seperti ini maka sebuah pemahaman hadis tetap terbuka peluang ketidak benarannya. Sebuah pemahaman tidak akan sampai ke tingakat kebenaran mutlak (dalam bahasa ushl fikih disebut qath’i). jadi. Hasil sebuah pemahaman tetap bernilai zhanniyyu ad-dilalah.

b. Kontekstualitas hadis
                        sama dengan al-qur’an, sejumlah hadis sebagaimana telah di singgung di atas, dalam upaya pemahaman sangat erat hubungannya dengan konteks tertentu, misalnya kapan Rasul menyampaikan berita atau bersikap, bertindak atau berperilaku, di mana, dalam kondisi bagaimana, kepada siapa beliau menyampaikan, dan sebagainya. Pemahaman hadis yang bernuansa kontekstual tanpa memperhatikan kontekstualitasnya akan melahirkan sebuah pemaknaan yang barangkali sesuai dengan makana lahir teks, tetapi tidak sesuai dengan pesan moral yang disampaikan Rasul.
                        Pemahaman kontekstualitas ini sebagai sebuah teori dalam lintassan sejarah diawali pembahasannya oleh imam Syafi’I dalam kitabnya, ar-Risala, dan kitab yang lebih khusus, ikhtilaf Al-hadis. Termasuk dalam nuansa ini juga, karya-karya para ahli hadis yang berbicara tentang asbab al-wurud al-hadis seperti yang ditulis as-syuthi. Persoalan kontekstual ini akan dibahas lebih lanjut dalam subtema kaidah-kaidah pendukung fiqhul-hadis.

c. Dimensi Metafisika  
                        sama dengan Al-qur’an, teks hadis (aspek ontologis) juga ada yang dapat didekati dengan pendekatan rasional, yaitu hadis yang berhubungan dengan kehidupan atau amalan riil di dunia nyata, dan ada yang bersifat informasi yang berhubungan dengan kehidupan gaib, menyangkut surge dan neraka, masalah ‘arsy, kursiy, masalah alam kubur dengan berbagai peristiwa yang dihadapi manusia di dalamnya. Pada hal-hal yang berkaitan dengan informasi gaib, pendekatan rasional tidak dapat menyelesaikan persoalan. Dalam hal seperti ini, diperlukan pendekatan yang bersifat supra-rasional.
                        Pada tataran ini, manusia hanya dapat menerima sebuah fakta atau kebenaran meskipun akal tidak dapat mencernanya. Rasionalisasi pada aspek yang bernuansa gaib ini akan berakibat fatal serta akan muncul klaim-klaim mati ataupun penolakan sebuah hadis tanpa landasan epistemologis dan aksiologis yang jelas. Akibatnya, terjadi pemaksaan rasionalitas dengan tata pikir yang tidak rasional. Maksudnya, rasionalisasi pada bidang yang bukan wilayah empiris merupakan tindakan yang tidak rasional; atau dengan bahasa lain, salah dalam penggunaa pisau analisis. Pada kasus-kasus yang bernuansa gaib atau tidak dapat dicerna akal manusi, khususnya dalam kajian bidang keilmuan keislaman, diperlukan epistemologis plus, artinya  bersifat khusus bagi orang-orang yang beragama atau beriman.
                        Kasus seperi kehadiran malaikat dalam wujud manusia muda kepada kaum nabi luth dan kepada mariyam serta kepada rasul sendiri, misalnya, tidak dapat didekati dengan pendekatan epistemology modern yang hanya terkurung pada data-data empiris dalam tatapikir positif. Dalam kasus ini dan kasus-kasus lain seperti kebenaran mimpi para nabi dan Rasul serta wali dan kebenaran ma’rifah shufiyah, tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan rasional murni. Dalam masalah-masalah yang bernuansa gaib ini ada filsafat yang barangkali dapat memperkaya epistemology islam, yaitu filsafat yang membahasa masalah ruang dan alam dengan demensi yang berbeda. Dalam hal ini di temukan analisis yang cukup filosofis dari ibnu khaldun.
                        Ibnu khaldun membedakan anatara alam al-mahsus al-jasmaniy (alam indrawi) dan alam malakut. Manusia sebagai mahluk yang terdiri unsur jasmani dan rohani, jika rohaninya mencapai kesempurnaan dapat masuk ke alam malakut tersebut. Demikian juga sebaliknya, malaikat yang berada di alam malakutnya dapat turun ke alam as-sufla (alam rendah, dunia) dengan menjadikan materal alam jasmani ini sebagai mediumnya.
                        Dalam ruang yang ditempati manusia ini, di samping alam materi dengan ketiga demensinya, masih ada alam-alam lain dengan demensi yang lebih tinggi. Orang beriman percaya bahwa disamping alam maya ini ada alam gaib. Anatara satu alam dengan alam yang lain berbeda demensinya dan tidak ada komunikasi. Manusia  yang berada di alam dunia yang berdemensi tiga ini secara umum tidak dapat berkomunikasi dengan malaikat atau para arwah di alam malakut. Sementara orang mukmin menyakini bahwa roh dan malaikat tersebut eksis sebagai personal yang hidup dan berakal. Namaun bagi mahluk yang berdemensi lebih tinggi dapat mengamati dan mempengaruhi makhluk yang berdemensinya lebih rendah seperti yang diterangkan Allah dalam Al-qur’an surat ke -7 ayat ke-27.
                        Iblis atau setan tanpa diketahui secara pasti bagaimana tata godanya terhadap manusia selaku musuhnya dapat mempengaruhi dan mala sampai taraf menyesatkan manusia. Setan atau bangsa jin yang lain juga dapat mempengaruhi kehidupan fisik manusia, atau bahkan menjadikan tubuh manusia yang masih hidup sebagai medium bagi jasad non-materinya untuk dapat menggangu atau berkomunikasi dengan manusia lewat fasilitas fisik manusia yang bersangkutan. Para malaikat dapat menyaksikan semua kegiatan manusia bahkan ada malaikat yang khusus mencatat amal baik dan buruk manusia.
                        Manusia yang jasadnya telah mati rohnya masih tetap hidup dan masuk kea lam malakut, ia juga dapat berkomunikasi dengan para malaikat. Pada prinsip umumnya, selama makhul tuhan berada di alam yang berbeda dengan demensi yang berbeda, maka maka bagi makhluk yang berdemaensi lebih rendah tidak dapat berkomunikasi dengan makhluk yang berdemensi lebih tinggi dapat mengamati atau bahkan mempengaruhi makhluk yang berdemensi lebih rendah.
                        Sungguhpun demikian, lepas dari prinsip umum ini, antara alam yang berbeda tersebut ada kemungkinan dapat terjadi komunikasi bila ada manusia yang berkekuatan spritualnya dapat loncat demensi, atau makhluk yang berdemensi lebih tinggi turun demensi dalam lintasan bolak-balik antarta ciptaan Allah.
                        Berdasarkan adanya fakta loncat atau turunya demensi ini, terdapat kemungkinan terjadinya komunikasi antar pribadi atau makhluk dengan alam yang berbeda. Ketika Rasul, misalnya meloncat demensi kealam malaukut atau terpental ke alam malakut atau terpental kea lam gaib. Seperi ketika terjadinya israk dan Mikraj, beliu dapat  berkomunikasi dengan para arwah nabi-nabi terdahulu dan dengan jibril. Ketika jibril turun demensi ke alam manusia dengan menjadikan materi alam fisika ini sebagai mediumnya bukan saja Rasul, para Shabat pun dapat melihat jibril dalam wujud bermedium materi berwajah manusia.
                        Wujud jibril seperti ini bukan wujud aslinya, melainka wujud sementara. Sama seperti wujud malaikatyang hadir dalam komunitas kaum nabi lut yang berperilaku homoseksual hanya saja, yang patut dimengerti di sini adalah bahwa untuk suatu komunikasi dengan manusia, makhluk alam malakut, atas izin allah, dapat menjadikan materi sebagaimedium bagi rohnya. Sementara dalam komunikasinya dengan manusia yang sudah keluar dari kapsul materinya seperti para nabi dan Rasul yang sudah wafat, malaikat dapat melakukannya dalam wujud yang asli sebagai roh.
                        Jika filsafat dimensi ini dapat dipahami, maka seseorang tidak perlu terlalu tergesa-gesa untuk menyatakan hadis kedatangan jibril mengajar iman, islam, dan ikhsan sbagai hadis maudhu’ atas dasar tidak rasional, sebagaimana dikeliam oleh fazlur Rahman dalam bukunya, al-islam, banyak hal sesungguhnya dalam kenyataan keseharian yang tidak dapat dicerna oleh akal manusia, tetapi hal itu tidak dapat dinafikan kebenarannya ketidakmampuan akal manusia mencerna dan menganalisa hal-hal yang bersifat super-rasional ini, tidak seharusnya yang langsung menyatakan bahwa hal yang memang ada itu dikatakan tidak ada.

D. BATASAN MAKNA HADIS
                        Kenyataan bahwa hadist memiliki dimensi Ilahiah, menghendaki analisis lanjutan apakh semua hadist sebagai mana yang ada dalam kitab hadist memiliki kedudukan dan konsekuensi yang sama...? perlu kajian dan penajaman masalah, apa pengertian hadist dalam batasan makna yang dikemukakan oleh ahli hadist..? dan, bagaimana rumusan makna yang digunakan dalam kerangka pemahaman hadist, yakni hadist mengandung nilai kebenaran risalah dan nilai Ilahiah?
1)      Hadist dalam pengertian Ahli hadis
semua yang diwariskan dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, atau sifat baik sifat fisikal maupun moral, ataupun sirah, baik sebelum menjadi Nabi ataupun sebelumnya.[2]
     Apa yang dirumuskan oleh tokoh analisis hadist modern, Al-Khathib, ini merupakan kristilisasi dari berbagai macam redaksi yang digunakan dalam mendefinisikan hadist. Pengertian ini dapat dijadikan acuan bahwa demikianlah pemahaman mayoritas ahli hadist dalam memahami kata hadist. Dalam dimensi terminologisnya, pemahaman ini sesungguhnya di dasari pada kenyataan sejarah. Pada masa awal pembukuan hadist, semua yang tercakup pengertian di atas. Pada masa itu kitab hadist memuat bukan hanya hadist Nabi melaikan juga hadist yang bersumber dari sahabat dan tabi’in. di samping itu sejarah hidup rosulpun di golonglkan kepada pengertian hadist.
     Akan tetapi, sejak abad ketiga , hadis yang dimuat dalam kitab hadist hanya yang bersumber dari nabi. Sementara yang bersumber dari sahabat dibukuakan secara terpisah. Selanjutnya menyangkut dalam sirahn digolongkan dalam sejarah. Dari pemahaman inilah akan muncul istilah Muhaddisin yang menfokuskan dari pada hadist, dan akhbariyin yang lebih tertarik pada kabar (sirah)[3]. Ini bagi orang yang membedakan antara hadis dan Khabar.
     Kenyataan di atas telah menyebabkan para analisis hadist memerlukan istilah teknis untuk mebedakan hadist yang bersumber dari Nabi dan sahabat maupun tabi’in. lalu lahirlah rumusan bahwa hadist yang bersumber dari Nabi di beri nama Marfu’, yang bersumber dari sahabat di beri nama Mauquf, dan bersumber dari tabi’in di beri label  Maqthu’. Ada juga ulama hadist yang bersandar kenyataan abad ke-3, dan ketika kitab hadist tidak lagi memuat hadist Mauquf dan Maqthu’, yang ,mengembangkan pemahaman bahwa yang di maksud dengan hadist adalah hanya yang Marfu’ sementara yang Mauquf dan yang Maqthu’ digolongkan dalam makna Atsar. Hal ini di pelopori oleh ulama khurasan.[4]
     Tugas ulama hadist adalah mencari, mencatat, dan mentashihkan apa saja atau semua aspek yang dapat di pandang bersumber dari Nabi yang mereka sebut dengan hadist. Apakah hadist itu berhubungan dengan agama atau tidak, hal itu tidak menjadi perhatian mereka. Kalaupun ada ulama hadist yang ikut berbicara dalam hal subtansi hadist, maka mereka itu yang berkapasitas sebagai foqaha. Umumnya, para ahli hadist kenamaan masuk katagori fuqaha.  
2)      Hadis dalam pengertian Ahli Ushul
Adapun analisis yang mengangkut rumusan keterikatan umat dengan hadis adalah rumusan para ulama’ ahli ushul. Bagi ulama ushul, maksud hadis yang dikemukakan oleh ulama’ hadis adalah memang hadis. Tetapi yang terpenting bagi mereka adalah hadis apa saja yang mengikat umat sebagai konsekwensi syahadat. Ketika allah memerintahkan mengikuti Rasul, apakah harus mengikuti semua hadis yang ada dalam semua kitab hadis, atau sebaliknya. Karena itu, rumusan makna hadis dalam pemahaman ulama’ ushul redaksinya lebih panjang, namun maknanya lebih sempit dan terbatas. Dalam rumusan ulama’ ushul, ada penambahan kata sebagaimana terlihat dalam redaksi beikut:
semua yang bersumber dari nabi berupa perkataan, perbuatan, atau taqri yang dapat dijadiakn dalil hukum agama”
            Definisi diatas mengandung Dua makna yaitu:
1)      Yang dimaksud hadis adalah hadis nabi Muhammad setelah diangkat menjadi Nabi, tidak termasuk dalam makna hadis.
2)      Ada batasan bahwa yang digolongkan hadis adalah yang dapat dijadikan dasar hukum agama, atau dalam bahasa yang lebih luas berkaitan dengan risalah.
            Dengan demikian suatu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa hadis dalam pengertian yang sangat umum dan luas, sebagaimana dikemukakan oleh para ahli hadis, tidak semuanya Hadis Rasul; banyak diantara hadis tersebut yang merupakan hadis “Muhammad ibnu Abdilah” maksudnya adalah ada hadis yang bersumber dari Muhammad sebelum menjadi nabi dan ada juga yang bersumber dari beliau sesudah menjadi Nabi. Kedua hal ini memiliki keterkaitan yang berbeda.
                        Dasar utama hadis adalah hadis rasul atau dalam bahasa lain hadis erarisalah. Sedangkan hadis prarisalah, boleh dijadikan landasan moral, tetapi tidak terlalu mengikat untuk dijadikan landasan hukum, kalaupun tidak dapat dikatakan tidak mengingat sama sekali. Sebab, kontrak Shadat uamat adalah dengan Rasul bukan dengan pribadi Muhammad. Meskipun. Sangat sulit memisahkan antara Rasul dan Muhammad. Dr. Rif’at Fauzi, guru besar di fakultas Darul Ulum Universitas Cairo, menegaskan, “patut diingatkan bahwa adanya hadis-hadis seperti itu (hadis prarisalah) dalam banyak literature hadis tidak bermakna bahwa hadis-hadis tersebut menujukan adanya pensyariatan sebelum kenabian. Seluruh umat islam sepakat bahwa yang diwajibkan kepada umat untuk diimani dan diamalkan adalah hadis-hadis setelah kenabian (erarisalah)
                        Demikian juga halnya hadis pacaerarisalah, yaitu hadis mauquf dan hadis muqthi’,. Kedua macam hadis ini adalah hadis yang bersumber dari shabat dan tabi’in, tingkat keterikatannya tidak sama dengan hadis marfu’. Hadis shabat dan tabi’in ini dalam kajian ushul fikih tetap mempunyai kedudukan tersendiri, namun tidak setara dengan hadis nabi. Apalagi keduanya tetap bertentangan.
                        Tantang hadis yang bersumber dari shabat, derajatnya yang tertinggi adalah mauquf ’ala hukmi al-mrfu’, yakni suatu hadis yang meskipun bersumber dari shabat, tetapi pada hakitnya dapat dipastikan bersumber dari Rasull, bukan hasil pemahaman mereka.
                        Disamping itu, suatu hal yang sangat perlu diperhatikan dari pengertian luas ulama’ hadis diatas adalah kenyataan bahwa hadis erarisalah ada yang berhubungan dengan risalah, yakni hubungan dengan agama; dan ada yang bersifat duniawi, yakni berhubungan dengan tradisi atau adat daerah tertentu. Misalnya, makan dengan tiga jari yang dipraktikan rasull, adalah suatu kebiasaan masyarakat di suatu tempat yang makanan pokoknya berbentuk butiran atau potongan, seperti buah kurma dan roti. Dll
                        Hadis-hadis yang berhubungan dengan risalah bersifat mengikat, tidak demikian dengan hadis-hadis yang berhubungan denga  adat. Hadis-hadis yang berhubungan dengan risalah ini, yang dimaksud dengan penjelasan dengna terminologis ulama’ ushul, yakni hadis yang berhubungan dengan hukum atau syariat. Terjadi perbedaan pendapat yang sangan mendasar antara ulama’ hadis dan ulama’ ushuldalam memaknai kata hadis atau sunah. Perbedaan ini lebih disebabkan oleh cara pandang dan tujuan yang berbeda antara mereka.”
                        Berdasarkan asumsi diatas, maka istilah hadis yang didefinisiklan adalah hadis-hadis Rasulyang berhubungan erat dengan agama dan risalah. Dengan demikian, dalam bahasan ilmu hadis, definisi ini adalah definisi yang diungkapkan para ulama’ ushul fikih. Ini berrmakna bahwa hadis sebagaimana yang didefinisikan oleh ulma’ hadis tetap dipahani dan diakui sebagai hadis, tetapi ketika dihubungkan dengan keharusan mengikuti Rasul sebagaiman diperintahkan allah dan dikristalkan dalam syahadat Rasul, maka yang dimaksud dengan hadis adalah sabda, perbuataan, atau taqri Rasull yang dapat dijadikan landasan agama secara umum baik menyangkut akidah. Akhlak, ibadah, muamalah, maupun yang berkaitan dengan sisi-sisi lain dalam agama. Hadis-hadis yang memenuhi kategori ini saja yang dapat dikatakan memiliki keterkaitan dengan wahyu, sebagaimana telah diuraikan diatas. Sementara kebiasaan Rasull memakan kurma dengan tiga jari dan mengendarai unta sama sekali bukan wahyu.
                        Untuk kedalaman pemahaman tentang hadis risalah atau non-risalah ini, patut kiranya dikuti komentar dan ulasan tokoh berwawasan pembaruan, ad-Dahlawi. Batasan makna yang ia ungkapkan dapat kita temukan ketika ia berkata, “ketahuilah bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan dari nabi dan dan ditulis dalam kitab-kitab hadis tediri dari dua macam.
1. hadis yang datang melalui penyampean risalah.
2. hadis yang bukan disampaikan melalui penyampean risalah.
                        Ad-Dahlawi menggolongkan hadis-hadis yang tegolongkan tabligh ar-risalah ini menjadi empat kategori sebagai berikut:
1.Hadis yang berisi penjelasan tentang hari kiyamat.
2.Hadis yang menjelaskan aturan-aturan agama, tuntutan ibadah, dan yang menjadi landasan hukum.
3.hadis yang berisi penjelasan hukum dan kemaslakhatan umum yang tidak terikat waktu dan tidak dijelaskan batas-batasnya.
4.hadis-hadis yang menjelaskan amalan-amalan yang utama berikut pahala bagi orang yng mengamalkan.
                        Adapun mengenai sandaran seluruh hadis Rasul yang berisi risalah adalah wahyu dan ijtihad dibawah bimbingan wahyu. Berdasarkan kenyataan ini, ijtihad Rasull pada sisi subtansinya, dalam pandangan ad-Dahlwi, mengandung kebenaran wahyu. Sebab Allah telah mengajarkan al-hikmah berupa tujuan-tujuan agama dan kaidah-kaidah penetapan hukum dalam rangkian penjabaran aturan dan tuntutan Allah dalam wahyu Al-qur’an.
  
       
                                                            DAFTAR PUSTAKA




                [1] Muhammad Ijaj Al Khatib, Ushul Al Hadis ‘Ulumuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut: Darul kutub al islamiyyah, tt.) hal. 24
                [2] Muhammad ‘Ajjaj al-khathib, ushul al-hadis, beriut, Dar al-fikir, 1989, hal. 19.
                [3] As-suyuti, Tdrib ar- Rawi, Dar Al-kutub al-Islamiyah, beriut, 1979, hal. 52 lihat juga misalnya, al-mubarakfuriy, muqaddimah tuhfah al-ahwadz, dar al-fikr, beriut 1979, hal 212-29
                [4] Subhi ash-shalih, “ulum al-hadis wa mushthalatuhu, beriut, dar al-‘ilm al-malayin, 1989, hal. 19.

1 komentar:

  1. assalamu alaikum mohoh maaf sebelum bisa di kirimkan ebooknya ini buku ilmu hadis

    BalasHapus

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates