Pages

Labels

Minggu, 15 Januari 2012

Pemikiran Hadis Manna’ Al-Qaththan


Oleh: Dahleni Lubis
BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman kalsik (650-1250). Dalam sejarah, puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya . Berdasarkan bukti histories ini menggambarkan bahwa periwayatan dan perkembangan pengetahuan hadits berjalan seirirng dengan perkembangan pengetahuan lainnya.
Menatap prespektif keilmuan hadis, sungguh pun ajaran hadis telah ikut mendorong kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya Al-Qur’an telah memerintahkan orang-orang beriman  menuntut pengetahuan. Dengan demikian prespektif keilmuan hadits, justru menyebabkan kemajuan umat Islam. Bahkan suatu kenyataan yang tidak boleh luput dari perhatian, adalah sebab-sebab dimana al-Qur’an diturunkan. Bertolak dari kenyataan ini, Syaikh Manna’ al-Qaththan menyebutkan sebagai metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, ajaran atau kejadian dengan melihatnya  sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, temapat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan, ajaran dan kejadian itu muncul. Dalam dunia pengetahuan tentang agama Islam, sebenarnya benih metode sosio-historis telah ada pengikutsertaan pengetahuan asbab al nuzul (sebab-sebab wahyu diturunakan) untuk memahami al-Qur’an, dan asbab al-wurud (sebab-sebab hadits diucapkan) untuk memahami al-Sunnah.


Meskipun asbab al-Nuzul dan asbab al –Wurud terbatas pada peristiwa dan pertanyaan yang mendahului nuzul (turun) Al-Qur’an dan wurud (disampaikannya) hadits, tetapi kenyataannya justru tercipta suasana keilmuan pada hadits Nabi SAW. Tak heran jika pada saat ini muncul berbagai ilmu hadits serta cabang-cabangnya untuk memahami hadits Nabi, sehingga As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua dapat dipahami serta diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah.

-          Pemikiran Hadis Manna’ Al-Qaththan

·         As-Sunnah dan Kedudukannya Dalam Syariat Islam

As-sunnah secara bahasa adalah metode dan jalan, baik terpuji atau tercela. Jamaknya adalah Sunan, seperti Ghurfah jamaknya Ghuraf.
Dan terdapat pemakaian kata tersebut dalam al-Qur’an dan Hadis Nabawi dalam makna ini.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman.,

قل للذين كفروا إن ينتهوا يغفرلكم لهم ما قد سلف وإن يعودوا فقد مضت سنت الاْولين
katakanlah kepada orang-orang kafir itu, jika mereka berhenti, niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lalu.,dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku sunnah-sunnah orang dahulu” (Al-Anfal:38).
Dan Allah berfirman, yang artiya:

sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati probahan bagi ketetapan kami itu”(Al-Isra’:77).
Dan dalam hadis Rasullullah SAW bersabda, yang artinya:


لتتبعن سنن الذين من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتي لو دخلوا جحر ضب لا تبعتموهم قلنا يا رسول لله اليهود والنصارى قال فمن.
“Sungguh kamu akan mengikuti sunnah (kebiasaan) orana-orang sebelum kalian sedepa demi sedepa, sehasta demi sehasta, hingga seandai nya mereka masuk ke dalam lubang biawak sungguh kalian akan mengikutinya.” Kami berkata, “wahai Rasullullah, Apakah Yahudi dan Nashrani (yang anda maksud)?”Rasullullah menjawab, “Lalu siapa lagi?”.[1]
As-Sunnah menurut para fuqaha’ adalah suatu (perintah) yang berasal dari Nabi SAW  namun tidak bersifat wajib. Dia adalah salah satu dari hukum-hukum taklifi yang lima: wajib,sunnah, haram, makruh, dan mubah.
         Namun terkadang mereka menggunakan istilah ini untuk kebalikan dari bid’ah. Mereka mengatakan misalnya, “Talak yang sesuai sunnah adalah demikian, dan talak bid’ah adalah demikian[2]
         Kata “As-Sunnah” digunakan sebagai lawan dari “Al-Bid’ah” secara mutlak. Bila dikatakan, “Fulan diatas sunnah,” maka berarti dia berbuat yang bertentangan dengan As-Sunnah, karena dia melakukan hal baru yang tidak termasuk dalam agama, dan setiap perbuatan baru dalam agama adalah bid’ah. Maka setiap hal baru dalam agama yang diperbuat orang yang tidak ada tuntunan dari Nabi, baik berupa ucapan ataupun perbuatan adalah bid’ah.
         Kata “As-Sunnah” juga bisa diartikan sebagai sesuatu yang dapat ditunjukkan olehalil ayar’i, meskipun hal itu termasuk perbuatan sahabat dan ijtihad mereka, seperti: pengumpulan mushhaf, mengarahkan manusia pada bacaan dengan satu qira’at dari qira’at yang tujuh, membukukan administrasi kekhalifaan (dawawin),dan yang semacam dengan itu. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi, yang artinya:
Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasydun setelahku”.[3]
         As-Sunnah menurut ulama ushul fikih adalah apa yang bersumber dari Nabi SAW selain al-Qur’an,baik berupa perkataan,perbuatan, atau pengakuan beliau.
         As-Sunnah menurut ulama Hadis adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan,sifat,atau sirah beliau.
         Dengan makna seperti ini maka ia menjadi sama dengan hadis nabawi,menurut mayoritas ahli hadis. Dan penggunaan makna ini sudah umum, seperti perkataan Anda, “Hukum ini sudah ditetapkan dalam al-Kitab.”yakni Al-Qur’an, “Hukum ini telah ditetapkan dalam As-Sunnah,” yakni dalam hadis. Begitu pula dengan perkataan anda juga,”Ada dalam kitab-kitab As-Sunnah,”yakni hadis.
         Perbedaan dalam mendefinisikan As-Sunnah menurut istulah ini bersumber dari perbedaan mereka pada tinjauan utama dari masing-masing disiplin ilmu.
         Ulama hadis,misalnya, mereka melihat dari sudut Rasulullah sebagai seorng imam yang memberi petunjuk,yang diberikan oleh Allah, bahwa beliau adalah teladan dan panutan bagi kita. Maka mereka meriwayatkan segala yang berkaitan dengan perilaku, akhlak, tabiat, berita-berita, perkataan, dan perbuatan beliau,baik yang telah ditetapkan sebagaihukum syar’I maupun tidak.
         Dan ulama ushul fikih membahas tentang Rasulullah sebagai seorang yang menyampaikan syariat yang meletakkan kaidah-kaidah bagi para mujtahid sesudahnya, dan menjelaskan kepada manusia undang-undang kehidupan.maka mereka memperhatikan perkataan dan perbuatan serta ketetapan Rasulullah yang dapat menetapkan hukum dan memutuskannya.
         Sedangkan ulama fikih membahas tentang perbuatan Rasulullah yang tidak keluar dari petunjuk terhadap hukum syara’. Tinjauan mereka adalah tentang hukum syar’i terhadap perbuatan hamba Allah dari segi wajib, atau sunnah, atau haram, atau makruh, atau mubahnya.[4]

·         Kedudukan As-Sunnah Sebagai Hujjah Dalam Syariat Islam
Kaum muslimin sepakat bahwa segala ucapan, perbuatan atau taqrir yang bersumber dari Rasulullah tentang masalah syari’at atau masalah kepemimpinan dan pengadilan, yang sampai kepada kita dengan sanad yang shahih, menjadi hujjah bagi kaum muslimin, dan sebagai sumber syari’at di mana para mujtahid dapat menggali hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan hamba.
Maka sunnah Nabawiyah adalah sumber kedua dari sumber-sumber hukum agama, dan kedudukannya berada setelah Al-Qur’an,dan wajib diikuti sebagaimana wajibnya mengikuti Al-Qur’an.
Dalil-dalil yangmenunjukkan bahwa As-Sunnah adalah hujjah,antara lain:
1.      Nash-nash Al-Qur’an: Allah telah memerintahkan untuk mengikuti Rasul-Nya dan menaatinya. Ia berfirman,
وما ءاتكم الرسول فخذوه وما نهكم عنه فانتهوا
pa yang telah Rasul berikan kepada kalian maka ambillah dan apa yang telah Rasul larang bagi kalian maka tinggalkanlah” (Al-Hasyar:7).
      Dalil tersebut membuktikan secara qath’I bahwa Allah telah mewajibkan untuk menaati Rasul-Nya pada apa yang telah disyariatkan, dan bahwa As-Sunnah sebagai sumber hukum syariat terhadap para hamba.
2.      Perbuatan sahabat. Para sahabat RA pada masa hidup Rasulullah SAW menaati semua perintah dan larangannya, dan mereka tidak membedakan antara hukum yang diwahyukan oleh Allah dalam Al-Qur’an, dan hukum yang bersumber dari Rasulullah SAW. Allah Ta’ala telah berfirman,
وما ينطق عن الهوى  إن هو الا وحي يو حى
Dan tidaklah dia berbicara dari hawa nafsu. Tidaklah dia kecuali sebuah wahyu yang diwahyukan “(An-Najm:3-4).
      Dan demikian pula kondisi mereka setelah meninggalnya Rasulullah SAW, mereka tetap kembali kepada Al-Qur’an untuk mencari hukum didalamnya. Dan bila tidak mendapatkan padanya, mereka merujuk kepada sunnah Rasulullah.
3.      Adanya perintah Allah yang mujmal (global) yang membutuhkan penjelasan dari Rasulullah SAW.
Di dalam Al-Qur’an banyak terdapat nash-nash yang mujmal global, yang berisi kewajiban dan perinta-perintah Allah kepada manusia, sedangkan Al-Qur’an tidak menjelaskan cara pelaksanaannya, seperti perintah shalat, zakat, puasa, dan haji:

وأقيمواااصلوة واءتواالزكوة
 Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat” (An-Nur:56).

Dan Rasulullah SAW telah menjelaskan perintah yang global ini dengan sunnahnya,baik yang berupa ucapan dan perbuatan, sebagaimana firman Allah,
Dan kami telah menurunkan kepadamu Adz-Dzikr sebagai penjelasan bagi manusia atas apa yang telah diturunkan kepada mereka[5]
      Maka seandainya As-Sunnah itu bukan sebagai hujjah bagi kaum muslimin yang wajib diikuti, tentunya tidak mungkin terlaksana semua perintah Al-Qur’an, kewajiban-kewajibannya, dan tidak mungkin pula ditaati semua hukumnya. Dari As-Sunnahlah kita mengetahui secara rinci waktu-waktu shalat, jumlah rakaatnya, tata cara pelaksanaannya,keterangan ukuran zakat, waktunya, harta-harta yang dizakati, penjelasan hukum puasa, manasik haji, penjelasan hukum pernikahan, jual beli, kriminalitas, dan semua yang disebutkan secara global dalamAl-Qur’an.
      Dengan demikian dapat ditetapkan, bahwa apa yang benar datang dari sunnah Rasulullah menjadi hujjah yang wajib diikuti. Jika Rasulullah wajib diikuti dalam kapasitasnya sebagai seorang rasul, maka wajib pula mengikuti semua hukum-hukum yang benar darinya, baik yang menerangkan hukum dalam Al-Qur’an seperti yang telah kami sebutkan tadi, ataupun sebagai penetap suatu hukum yang tidak disinggung dalam Al-Qur’an. Seperti pengharaman menikahi seorang wanita dengan bibinya, baik dari pihak ayah atau ibu,dan pengharaman semua yang memiliki taring dari binatang buas dan yang memiliki cakar dari burung , dan tidak boleh melakukan qishash terhadap seorang muslim karena membunuh seorang kafir,karena semua ini bersumber dari Nabi yang telah diberikan oleh Allah kewenangan dalam menjelaskan dan mensyari’atkan.

·         Kedudukan As-Sunnah Dalam Dalil-Dalil Syari’at
Kedudukan As-Sunnah dalam dalil-dalil syri’at berada dibawah  kedudukan Al-Qur’an. Dalil yang menunjukkan itu adalah beberapa hal berikut ini:
Pertama, bahwasanya Al-Qur’an adalah qath’i karena mutawatir, sedangkan As-Sunnah adalah zhanni karena terkadang banyak yang ahad, yang qath’i didahulukan atas yang zhanni. Oleh karenanya harus mendahulukan Al-Qur’an atas As-Sunnah.
Kedua, bahwa As-Sunnah adalah sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an,atau sebagai penambah baginya. Jika sebagai penjelas, maka keberadaannya adalah setelah Al-Qur’an.jika bukan sebagai penjelasan terhadap Al-Qur’an,maka ia tidak bisa menjadi landasan kecuali setelah hukum tersebut tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Dan ini menjadi dalil atas didahulukannya Al-Qur’an atas As-Sunnah.
Ketiga, adanya akhbar dan atsar yang menunjukkan hal itu, seperti hadis Mu’adz ketika Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Dengan apakah kemu berhukum?” Mu’adz menjawab, “Dengan kitabullah.” Nabi ‘bertanya kepadanya,”Jika kamu tidak menemukan (dalam al-Qur’an)?”Dia menjawab,”Dengan sunnah Rasulullah SAW. “Beliau bersabda,”Jika kamu tidak menemukannya?” dia menjawab.”Aku berijtihad dengan pendapatku.”
Dari Umar bin Al-Khattab bahwasanya dia menulis kepada Syuraih, “Apabila datang kepadamu suatu perkara,maka putuskanlah dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an, dan jika datang kepadamu apa yang tidak ada dalam kitab Allah,maka ptutuskanlah dengan apa yang telah di sunnahkan oleh Rasullah SAW.






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
As-sunnah secara bahasa adalah metode dan jalan, baik terpuji atau tercela. Jamaknya adalah Sunan, seperti Ghurfah jamaknya Ghuraf. Maka dari itu Syaikh Manna’ Al-Qaththan membagi As-Sunnah menjadi tiga bagian:
1.      As-Sunnah menurut para fuqaha’ adalah suatu (perintah) yang berasal dari Nabi SAW  namun tidak bersifat wajib. Dia adalah salah satu dari hukum-hukum taklifi yang lima: wajib,sunnah, haram, makruh, dan mubah
2.      As-Sunnah menurut ulama ushul fikih adalah apa yang bersumber dari Nabi SAW selain al-Qur’an,baik berupa perkataan,perbuatan, atau pengakuan beliau.
3.      As-Sunnah menurut ulama Hadis adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan,sifat,atau sirah beliau.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis memerlukan kritik dan saran untuk perbaikan makalah ini. Semoga apa yamg terdapat dalam makalah ini dapat diambil sebagai ilmu yang berguna dan bermafaat kepada kita semua.
 
DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Al-Qaththan. Pengantar Studi Ilmu Hadits, Pustaka Al-Kautsar: Jakarta Timur. 2005.
http://digilib.uin-suka.ac.id



[1]  Muttafaq’ Alaih
[2] Talak sunnah adalah yang terjadi sesuai dengan cara yang ditetapkan oleh syariat,yaitu bila seorang suami menjatuhkan talak satu untuk istrinya yang telah digauli ketika ia dalam keadaan suci dan ia belum menggaulinya dalam masa itu.
[3] HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi.
[4]  As-Sunnah waMkanatuha fi At-Tasyri’Al-Islamy,DR. Musthafa As-Siba’i hal.61.At-Tasyri’ waAl-Fiqh fi Al-Islam,hal.86-87
[5] Surat An-Nahl:44.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates