Pages

Labels

Selasa, 17 Januari 2012

Pemikiran Hadits G.H.A. Juynboll


Oleh: Abdul Jamar HSB
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Orientalisme yang pada awalnya adalah salah satu kajian keilmuan yang tergabung di dalam ilmu Antropologi, memiliki tujuan yang sama dengan ilmu induknya tersebut yaitu untuk mempelajari kebudayaan lain agar bisa menemukan kebudayaan terbaik yang bisa dijadikan kebudayaan pilot project bagi seluruh dunia.Namun pada perkembangan lebih lanjut, antropologi kemudian berubah menjadi sebuah kajian keilmuan dari sebuah bangsa Eshtablished terhadap kebudayaan yang outsiders. Karena masyarakat merasa mereka lebih berbudaya daripada masyarakat oriental (timur), baik itu timur jauh, timur tengah, timur selatan. Meliputi semua hal budaya, adat, norma dan juga agama-agama masyarakat timur.
      Di dalam salah satu bukunya, Orientalism, Edward Said mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para orientalis dalam meneliti agama Islam, khususnya hadis, bukanlah pekerjaan yang non profit oriented, artinya mereka memiliki tujuan tertentu dengan meneliti agama Islam sedemikian rupa. Tujuan itu antara lain adalah mencari kelemahan Islam dan kemudian mencoba menghancurkannya pelan-pelan dari dalam. Walaupun tidak semua orientalis memiliki tujuan seperti itu paling tidak itu adalah sebuah anomali dari sekelompok orang yang boleh dikata memiliki persentase sangat kecil. Hal inilah yang menjadi alasan bagi Hasan Hanafi cs untuk membalas perlakuan mereka dengan giliran balik menyerang kebudayaan Barat dengan cara mempelajarinya dan kemudian juga dengan cara yang sistematis mencoba menggerogotinya dari dalam.
Mereka memilih hadis dalam upayanya untuk menyerang umat Islam karena kedudukan hadis yang sangat penting dalam kehidupan kaum muslim. Hadis adalah sumber hukum kedua setelah al Quran sekaligus juga sebagai penjelas dari al Quran itu sendiri. Mereka lebih memilih menyerang hadis ketimbang al Quran, karena hadis hanyalah perkataan manusia yang bisa saja mengandung kesalahan dan unsur-unsur negatif lainnya. Mereka sulit untuk mencoba mendistorsikan al-Quran karena al-Quran adalah sumber transendental dari tuhan yang telah terjamin dari semua unsur negatif.
BAB II
PEMBAHASAN


A.     Biografi dan Karya-karya G.H.A. Juynboll
Gautier  H.A. Juynboll  yang  lahir di Leiden Belanda pada 1935 adalah seorang pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadits selama tiga puluh tahun lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadits dari persoalan klasik hingga kontemporer. Juynboll yang dalam beberapa kesempatan sering mengatakan “Seluruhnya akan kupersembahkan untuk hadits Nabi”, ia juga mengajar diberbagai Universitas di Belanda.
            Sebagian seorang ilmuan dan peneliti dalam bidang studi Hadits, Juynboll dalam pemikirannya terutama yang terkait dengan studi hadts dan teori common link di elaborasikan dalam tiga bukunya : The Authenticity of the Tradition Literature : Discussion in Modern Egypt, Muslim Tradition : Studies and Cronology, Provenence and Autochip of Early Hadits, dan Studies on the Orgins and Uses of Islamic Hadits.
Dalam karya orginalnya The Authenticity of the Tradition Literature Juynboll mengambil dari sumber klasik dan kontemporer, mengkaji tentang pendapat-pendapat para teolog mesir tentang kesahihan hadits nabi. Muslim Tradition merupakan karyanya yang lain dimana didalam buku ini ia ingin membuktikan bahwa standarisasi hadits mulai diberlakukan tidak lebih awal daripada dipenghujung abad hijriah atau abad ketujuh masehi. Dengan demikian ia memilih jalan tengah antara kepercayaan orang-orang muslim kepada asal usul hadits Nabi dan pikiran para sarjana barat yang lebih awal, seperti Gozdziher dan Schacht yang berasumsi bawa hadits telah dipalsukan secara masal.
         Studies on the Orgins merupakan Karya Juynboll selanjutnya yang berasal dari kumpulan-kumpulan artikel yang dihimpun secara kronologis yang mana dalam karya ini ia dapat mengungkapkan perkembangan pemikiran dan ketertarikannya pada berbagai persoalan mengenai jalur-jalur periwayatan hadits, termasuk perhatiannya pada Common link (periwayat yang menjadi titik temu pada periwayat lainnya).
Selain dari ketiga buku tersebut, Juynbollpun banyak menerbikan artikel-artikel yang tak kalah menariknya dalam sudut kajian hadits, diantaranya adalah : Pertama; The Hadits in The Discussion on Brid Control. Kedua; Ahmad Muhammad Sakir and His Edition of ibn Hanbal Musnad. Dalam tulisan ini ia mengkaji tulisan musnad Ahmad dalam karya Muhammad Syakir. Ketiga Menterjemahkan pengantar muslim bin Alhajjaj terhadap kitab Sahihnya “Muslim in Troduction to His Shahih Trasslated and annotated with an Excersus on Cronology of fina and bid’a”.

B.     Teory Common Link G.H.H  Juynball
G.H.A Juynboll bukanlah orang pertama yang membicarakan phenomena Common link dalam periwayatan hadits. Dia mengakui dirinya sebagai  pengembang dan bukan penemu dari teori tersebut. Adapun pengagas teori Common link adalah Schacht. Sejak awal phenomena Common link sudah dikenal oleh para ahli hadits dikalangan Islam. At-tirmdzi dalam koleksi haditsnya menyebut hadits-hadits yang menunjukan adanya seorang periwayat tertentu, si A misalnya, sebagai common link dalam isnad-nya, dengan “hadits-hadits si A.” istilah teknis yang dipakai at-tirmidzi mengga,barkan gejala seperti itu adalah masdar (poros) hadits itu membentuk sebagian besar hadits gharib.
Menurut Schacht asumsi dasar dalam teori ini adalah jika terdapat hadits yang memiliki isnad yang berbeda, namun dalam satu matan yang terkait erat dan hal itu menunjukakan gejala common link maka dapat disimpulkan bahwa hadits itu bersumbur dari seorang periwayat yang menjadi common link yang disebut dalam isnad hadits. Disamping itu Schacht mengatakan bahwa teori common link dapat dipakai untuk memberikan penanggalan terhadap hadits-hadits dan doktrin-doktrin para ahli fiqih.
Dalam beberapa tulisannya, Juynboll sering kali mengemukakan asumsi dasar yang menjadi pijakannya dalam meneliti hadits serta memperkenalkan beberapa istilah teknis yang relatif baru, yang berhubungan erat dengan teori common link. Juynboll mengatakan bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkan, maka semakin besar pula seorang periwayat dan periwayatannya memiliki klaim kesejarahan.
Jika sebuah hadits berdasarkan dari nabi hanya melalui seorang sahabat kapada seorang tabi’in, lalu kepada soerang tabi’an lain yang pada gilirannya sampai kepada common link, dan sesudah itu jalur periwayatannya mulai tersebar dan terpancar keluar maka kesejarahan jalur periwayatan tunggal dari nabi hingga common link tersebut tidak dapat dipertahankan. Disini, yang manjdi persoalan adalah mengapa nabi manyamp[aikan haditsnya hanya kepeda seorang sahabat, begitu pula sahabat hanya kepada seorang tabi’in dan seterusnya sehingga sampai kepada common link.
Secara ideal, seharusnya mayoritas jalur isnad dalam berbagai koleksi hadits menunjukkan jalur-jalur periwayatan yang berkembang sejak dari nabi, dan kemudian memancar kepada sejumlah besar sahabat, yang pada gilirannya para sahabat juga menyampaikannya kepada sejumlah besar tabi’in dan seterusnya hingga sampai kepada para kolektor hadits, dengan demikian, jalur periwayatan itu sejak awal, seperti terlihat pada diagram dibawah ini, mengambil bentuk sebagai berikut;cl      pcl    pcl      pcl       (pcl  ) sejumlah koleksi. Akan tetapi, dalam kenyataanya, sebagian besar jalur isnad baru berkembang pada common link, seorang periwayat hadits dari generasi kedua dan ketiga sesudah nabi.
Menurut analisis Juynboll isnad hadits dalam berbagai koleksi hadits kanonik, memilki cirri yang sangat mengejutkan, yakni “isnad-isnad itu hanya terdiri dari satu jalur tunggal pada tiga, empat, atau lima periwayat sesudah nabi sebelum jalur periwayatan itu mulai bercabang ke berbagai jalur yang berbeda.
Menurut Juynboll mengenai hal ini bahwa single straend (jalur tunggal) yang merentang dari common link kebawah hingga nabi, tidak merepresentasikan jalur periwayatan sebuah hadits nabi, dan sebagai akibatnya tidak memenuhi ukuran kesejarahan. Istilah teknis lain yang diperkenankan oleh Juynboll adalah partiel common link (sebagian periwayat bersama yang selanjutnya disebut pcl) seorang periwayat yang dapat dikatagorikan sebagai pcl adalah periwayata yang menerima hadits dari seorang (atua  lebih) guru, yang berstatus sebagai cl atau yang alin, dfan kemudian menyampaikannya kepada dua orang murid atau lebih. Semakin banyak pcl memiliki murid yang menerima hadits darinya maka semakin kuat pula hubungan guru dengan murid dapat dipertahankan sebagai hubungan yang historis. Dalam hal ini, pcl bertanggung jawab atas perubahan yang terjadi pada teks asli (matan hadits). Singkatnya, periwayat yang menajdi pcl memainkan peran yang prusial dalam perubahan matan hadits asli menjadi persi yang pada akhirnya terhimpun dalam berbagai koleksi hadits.
Istilah kebalikan dari pcl adalah inventerted partial common link (ipcl), yakni periwayat yang menerima laporan lebih dari seorang guru dan kemudian menyampaikannya kepada (jarang lebih dari) seorang murid. Sebagian besar ipcl muncul pada level yang lebih belakangan dalam bindel isnad tertentu dan dalam bindel isnad yang lain terkadang mereka berganti peran sebagai pcl.
Masih ada istilah satu lagi dalam teori common link yang merupakan kebalikan dari cl yaitu inverted common link (icl).Terdapat perbadaan yang jelas antara cl dan icl. Jika dalam cl terdapat satu jalur tunggal yang merentang dari nabi hingga cl, yang terdiri dari tiga sampai lima periwayat dan kemudian baru menyebar ke beberapa jalur pada level cl maka dalam icl terdapat berbagaijalur tunggal yang berasal dari saksi mata yang berbeda-beda dan pada gilirannya masing-masing dari mereka manyampaikannya kepaada seorang murid hingga pada akhirnya bersatu dalam icl.

C.       Cara kerja Teory  Common Link
Secara umum dalam seiap hadits terdapat dua bagian yaitu sanad dan matan. Matan hadits dapat dinyatakan otentik jika rangkaian periwayat dalam memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam metode kritik hadits. Oleh karena itu, para ulama hadits lebih menekankan penelitian isnad dari pada matan. Jika isnad sebuah hadits terdiri dari oarng-orang yang dapr dipercaya maka hadits itu dinyatakan shahih, dan sebaliknya, jika isnad hadits terdapat oarang0orang yang tidak dapat dipercaya maka hadits itu tidak diterima dalam sejarah periwayatan hadits memang telah terjadi pemalsuan hadits. Akan tetapi, hadits-hadits yang dianggap palsu dan lemah telah dipisahkan dari yang otentik oleh para ahli hadits dengan menggunakan metode kritik isnad. Dengan demikian, proses penyeleksian antara hadits palsu dan otentik menurut para ahli hadits sudah dianggap final.
Sementara itu, junyboll mengatakan kita tidak pernah menemukan metode yang sukses secara moderat untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada nabi. Selaian itu menurutnya, metode kritik isnad memiliki babarapa kelemahan: pertama, metode kritik isnad baru berkemabang pada priode yang relative sangat lambat. Kedua, isnad hadits, sekalipun shahih, dapat di palsukan secara keseluruhan dengan mudah. Ketiga, tidak diterapannya kriteria yang tepat untuk memeriksa matan hadits. Oleh karena itu Juynboll mengajukan solusi dengan menggunakan metode common link dan metode analisis isnad dengan langkah-langkah sebagai berikut: pertama, menentukan hadits yang akan diteliti. Kedua, menelusuri hadits dalam berbagai koleksi hadits. Ketiga, menghimpun seluruh isnad hadits. Keempat, menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad. Kelima, mendeteksi common link, periwayat yang bertanggung jawab atas penyebaran hadits.
Selain menggunakanmetode analisis isnad, Juynboll juga melakukan analisis matan guna menguji otentisitas dan kesejarahan hadits nabi. Secara umum langkah-langkah metode analisis matan yang diajukannya adalah : (1). Mencari matan yang sejalan. (2). Mengidentifikasi common link yang terdapat pada matan yang sejalan. (3). Menentukan common link yang tertua. (4). Menentukan bagian teks yang sama dalam semua hadits yang sejalan.
Dalam menanggapi metode analisis isnad Juynboll motzki mengajukan suatu metode yang disebut dengan metode analisis isnad-cum-matn. Metode ini bertujuan untuk menulusuri sejarah periwayatan hadits dengan cara membandingkan varian-varian yang terdapat dalam berbagai kompilasi yang berbeda-beda. Metode ini berangkat dari asumsi dasar bahwa sebagai varian dari sebuah hadits, setidak-tidaknya sebagiannya, merupakan akibat dari prose periwayatan dan juga bahwa isnad dari varian-varian itu, sekurang-kurangnya sebagiannya, merepleksikan jalur-jalur periwayatan yang sebenarnya.
Metode analisis isnad-cum-matn menurut Motzki terdiri dari beberapa langkah:
1.      Mengumpulkan sebanyak mungkin varian yang dilengkapi dengan isnad
2.      Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam generasi periwayat yang berbeda-beda
3.      Membandingkan teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan katanya.
4.      Membandingkan analisis isnad dan matan.
Dengan membandingkan hasil analisi isnad dan matan maka akan dapat diambil kesimpulan tentang kapan hadits tersebut mulai disebarkan, siapa saja yang menjadi periwayat hadits tertua, sebagaimana teks-teks itu dapat mengalami perubahan pada jalur periwayatan tertentu dan siapa yang bertanggung jawab atas periwayatan itu. Jika kita mencermati dengan sesama dua langkah pertama dari metode analisis isnad-cum-matn motzki tampaknya tidak jauh berbeda dengan metode analisis isnad Juynboll. Yang berbeda adalah dua langkah terakhir yang memusatkan perhatian pada matan hadits, khususnya pada struktur dan susunan katanya.

D.     Implikasi Teory Common Link Terhadap Asal Usul dan Pekembangan Hadits
Implikasi dan konsekwensi ketika menggunakan teori ini adalah sbb :

1.      Menyangkut sumber dan Asal usul Hadits

pertama dan utama dalam teori common link adalah menyangkut sumber hadits, siapa yang menjadi sumber hadits yang terhimpun dalam berbagai koleksi hadits, khususnya koleksi hadits konanik; apakah nabi, sahabat, tabiin, tabiit tabiin. Mayoritas para ulama hadits sepakat bahwa semua hadis yang terdapat dalam koleksi kitab konanik adalah otentik, dan dengan demikian, bersumber dari Nabi.
Berbeda dengan Juynboll dengan tegas mengungkapkan hasil temuannya bahwa setiap hadits yang terdapat dalam koleksi hadits yang konanik sekalipun, tidak bersumber dari sahabat atau nabi sekalipun, sahabat dan nabi tidak bertanggungjawab atas dimasukannya nama-nama mereka kedalam isnad hadits. Adapun yang bertanggung jawab atas matan hadis dan juga isnad adalah seorang periwayat hadits yang berperan sebagai common link dalam suatu bundel hadits.
2.     Menyangkut metode kritik hadits konvensional
Dalam rangka menghadapi gerakan pemalsuan hadits para ulama ahli hadits telah mengembangkan sebuah metode kritik hadits untuk mebedakan atara hadits otentik dan hadits lemah bahkan palsu. Metode tersebut berpijak pada lima kriteria, (1) Sanadnya bersambung, (2). Diriwayatkan oleh orang yang adil (3). Diriwayatkan oleh orang yang dhabit, (4). Terhidar dari syudzudz, (5). Terhindar dari ‘ilat. Metode ini menurut mereka telah terbukti kehandalannya dan mampu menyingkirkan hadits-hadits palsu dan lemah sehingga metode kritik hadits ini telah dianggap baku oleh para ulama hadits.
Berbeda dengan Juynboll, ia mengamati ada kelemahan yang terdapat dalam metode konvensional, metode itu menurutnya masih menimbulkan kontroversi jika digunakan untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada nabi. Menurutnya ada bebrapa titik kelemahan dalam metode itu; (1). Kemunculannya dianggap terlambat, (2). Isnad dapat sipalsukan secara keseluruhan, (3). Tidak diterapkan keritik matan yang tepat. Berangkat dari kenyataan ini Juynboll menawarkan metode common link sebagai ganti dari metode kritik hadits konvensional. Metode common link ternyata tidak hanya berimflikasi merevisi metode kritik konvensional, tetapi juga menolak seluruh asumsi dasar yang menjadi pijakan bagi metode itu. Jika metode kritik hadits konvensional berpijak pada kualitas periwayat, maka metode common link tidak hasa berpijak pada kualitas periwayat namun berpijak pula pada kuantitasnya. Ini berarti Juynboll secara tidak langsung menolak seluruh hadits ahad mengharapkan bahwa seluruh hadis seharusnya diriwayatkan secara mutawatir dari masa yang sangat awal hingga masa akhir (kolektor).
Dalam menyikapi pendapat Juynboll ini kita tidak perlu heran, jika kita memahami metode yang dikembangkannya adalah metode yang dibangun diatas dasar-dasar prinsip kritik teks historis-filologis. Prinsip dasar ini menuntut bahwa ketika otentitas menuntut laporan yang terdapat dalam sebuah teks (dalam hal ini matan hadits), belum terbukti secara pasti maka kekosongan yang ada dalam deskrifsi harus diakui dan dipertimbangkan dalam setiap langkau untuk membangun sebuah rekonstruksi sejarah yang lebih lengkap.
E.      Berbagai Interpretasi Terhadap Teori Common Link
Juynball dalam mengemukakan teorinya tidak serta merta mendapat dukungan sepenuhnya dari berbagai kalangan, tetapi juga mendapat kecaman dan menganggap teori ini hanya sebatas khayalan juynball. Diantara komentar dari beberapa kalangan tentang teori ini  adalah :
1.     H.H. Motzki: Common link Sebagai kolektor Sistematis Pertama
Ketika mengkaji beberapa asumsi-asumsi dari method analisis isnad, Motzki menyadari bahwa fenomena beberapa jalur tunggal dibawah common link dan observasi yang menyatakan sebagian besar common link terjadi pada masa generasi ketiga dan keempat Hijriah, hal itu membutuhkan interprestasi dan jawaban yang tepat.
Asumsi Motzki terhadap teori common link Juynboll, paling tidak ada dua hal yang harus diperhatikan : (1) banyak bukti menunjukan bahwa berbagai pusat pembelajaran hadits mengadopsi isnad dengan cepat. (2) klaim Juynboll bahwa hanya beberapa tabiin jika tidak ada samasekali, yang benar sebagai common link merupakan dari analisi isnad-nya, yang mengabaikan jalur-jalur tunggal. Disamping itu menurut Motzki, Juynboll salah menafsirkan bundel isnad hadits dari bawah bukan dari atas. Bundel isnad menjelaskan berbagai jalur yang ditemukan dalam karya-karya para kolektor belakang. Oleh karena itu ia harus ditelusuri dari atas, dari para kolektor hadits, bukan dari bawah, dari common link, jika seseorang menganalisisnya dari atas maka jelas baginya bundel isnad itu menujukan bahwa seorang kolektor hadits mendapatkan haditsnya dari tiga orang guru yang pada gilirannya memperoleh dari guru-guru mereka dan seterusnya. Sebagai konsekuensinya jalur tunggal muncul hanya ketika para kolektor lain memiliki jalan-jalan  periwayatan (thuruq) yang berbeda dan tidak bertemu dengan kolektor lain yang diketahui.
2.     Michael A. Cook : Common link sebagai akibat dari Proses penyebaran Isnad
Untuk mengkritik metode common link Cook mengembangkan dan memperluas dari Schacht yang lain, yaitu teori penyebaran isnad (the spead of isnad). Teori ini mengatakan bahwa para periwayat hadits terbiasa menciptakan isnad-isnad tambahan untuk mendukung sebuah matan yang sama. Menurut Cook, munculnya fenomena common link adalah akibat dari proses penyebaran isnad dalam skala besar. Fenomena common link tidak menunjukan bahwa sebuah hadits benar-benar bersumber dari seorang periwayat kunci. Oleh karena itu metode common link yang dikembangkan oleh Juynboll tidak dapat dipakai untuk menelusuri unsur-unsur sumber dan kepengarangannya.
Proses penyebaran isnad paling tidak dapat terjadi dalam tiga cara. (1) melompat periwayat sezaman. (2) menyandarkan hadits pada guru yang berbeda. (3) mengatasi persoalan hadits-hadits yang “terisolir”.
Jadi tentang penyebaran isnad dalam pandangan Cook sebenarnya telah merusak teori common link dan membuatnya tidak dapat diproses lagi. Jika tiga skenario diatas terjadi dalam sekala luas maka dengan sendirinya skenario itu meruntuhkan upaya apapun untuk menggunakan isnad sebagai alat untuk menelusuri asal-usul hadits. Cook menyatakan bahwa upaya untuk menyelidiki kronologi hadits dengan metode common link seperti dilakukan Van Ess dan Juynboll adalah salah. Baginya, interpretasinya mengenai fenomena common link lebih merupakan penghancuran informasi daripada memberikan informasi. 
3.     Noran Calder : Common Link Sebagai Tokoh yang Kebal dari Kritik
Sama dengan macheal Cook, norman calder juda meragukan paliditas metode common link dan informasi sejarah yang didapatkan melaluinya. Dalam studies in early muslim jurisprudece Calder mengkaji 6 teks hukum dari tiga aliran hukum Islam teks-teks itu adalah mudawwanah Sahnun, Almuaththa Malik, beberapa teks Hanafi, al-Um, Mukhtashar Muzani, dan al-Kharaz Abu Yusuf. Kajian Cader dalam buku ini terutama berpijak pada analisis sastra atas beberapa teks fikih yang paling pokok dan dilanjutkan dengan diskusi umum mengenai yuriprudensi Islam pada abad awal tahun hijriah. Ketika menilai bentuk sastra dari karya-karya tersebut pada saat kemunculannya Calider menyatakan bahwa dikotomi tradisinal antara periwayat lisan (oral) dan tertulis (wraiten) seharusnya tidak digabarkan sedemikian tajam.
Teks-teks yuristik dalam bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan periwayatan hadits, seperti hadatsta, qala, dan akhbara, membuktikan adannya aktipitas lisan yang signifikan yakni kreatifitas dan periwayatan. Lingkungan arab Islam hingga awal dekade abad ketiga hijriah adalah lingkungan yang sangat produktif baik bagi literatur lisan maupuntertulis. Literatur lisan, setidaknya dalam kontek yuristik, seringkali merupakan produk dari sebuah proses diskursif. Sedangkan literatur tulis memperlihatkan adanya aktifitas lisan ini dan tampaknya mereka juga berupaya menciptakannya kembali. Buku-buku merupakan literatur kedua setelah periwayatan secara lisan dan pada awalnya ada dalam bentuk buku-buku catatan pribadi.
4.     David  Power dan Upaya Mencari the real common link
David S. Power, seoranag pakar hukum waris dari cornell univerciti ithaca, new rok, juga menggunakan metode common link dalam penelitiannya tentang waris dimasa Islam awal dan secara tidak langsung berbicar, walaupun tidak begitu mendalam, mengenai upaya mencari the real common link dan membedakannya dengan  the seeming atau the artificial common link.
Ada dua hal pandangan Power tehadap common link yang perlu diperhatikan dari salah satu argumennya : (1) dia tidak mempersoalkan apakah common link harus didukng oleh beberapa partial common link dari generasi berikutnya atau tidak. Baginya, periwayat yang menduduki posisi cl tidak harus didukung oleh periwayat belakangan yang berstatus sebagai pcl yang meriwayatkannya kepada pcl berikutnya hingga pada para kolektor hadits, sebagaimana kriteria yang ditetapkan oleh Juynboll. Bisa saja cl hanya didukung oleh jalur-jalur tunggal yang menerima hadits darinya dan pad gilirannya menyampaikannya kepa seorang atau dua orang muridnya. (2) Power mengakui, untuk mengidentifikasi the real common link sesorang seharusnya menerima asumsi bahwa isnad telah menebar seperti yang dijelaskan oleh tradisi Islam sendiri. dengan demikian, ia mempercayai jalur-jalur isnad, termasuk jalur tungga, asalkan jalur-jalur tersebut bersambung dan terdiri dari para periwayat yang bisa diterima.
5.     M.M. Azami (Common Link Hanya Imajinasi)
M.M. Azami pengkaji Hadits dari Universitas King Sa’ud, tidak hanya mempertanyakan teori common link dan single strand, tetapi meragukan validitas teori tersebut. Azami menyatakan teori common link dan semua kesimpulan yang dicapainya dengannya tidak relevan dan tidak berdasar. Bahkan menurut Azami teori tersebut hanya sebagai imajinasi dari Schacht yang tidak ada dalam kenyataannya. Menurut Azami, jika memang ditemukan seorang periwayat (al-Zuhri misalnya) yang menjadi satu-satunya yang menyampaikan hadits, namun apabila telah dinyatakan ke-tsiqah-annya oleh para ahli hadits maka tidak ada alasan untuk mencurigai atau menuduhnya sebagai pemalsu hadits.
           


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pertama :

G.H.A Juynboll telah menggunakan teori common link untuk menyelidiki asal usul dan sejarah awal periwayatan hadits selama dua puluh tahun terakhir ini. Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin besar seorang periwayat dan jalur periwayatannya  memiliki klaim kesejarahan. Dengan kata lain, jalur periwayatan yang dipercaya secara historis adalah jalur yang bercabang kelebih dari satu jalur. Sementara jalur yang berkembang kesatu jalur saja tidak dapat dipercaya kesejarahannya. Akan tetapi hasil riset ini menunjukan bahwa asumsi ini tampaknya kurang menyakinkan.
Secara praktis, asumsi tersebut diterapkan oleh Juynboll melalui method analisis isnad yang terdiri atas beberapa langkah sebagai berikut; (1). Menentukan Hadis yang diteliti (2) menelusuri hadits dari berbagai sumbernya. (3) menghimpun seluruh isnad Hadits. (4) merekonstruksi seluruh jalur isnad dalamsebuah bundel isnad. (5) mendeteksi seorang periwayat yangm menduduki posisi common link. Juynboll mengembangkan teri common link setelah mengetahi bahwa metode krituk hadis yang ditawarkan oleh para ahli hadits masih controversial karena memiliki beberapa kelemahan yang cukup mendasar dan tidak memberikan kepastian mengenai sejarah periwayatan hadits.
Dalam kenyataanya, teori common link dengan methode analisi isnadnya berbeda dengan method kritik hadits dikalangan muhaditsuun, karena keduanya berpijak kepada premis-premis yang berbeda. Akibatnya, teori tersebut mengakibatkan implikasi dan konsekuensi yang juga berbeda yang mengejutkan ahli-ahli hadis pada khususnya, dan umat Islam pada umumnya. Diantara implikasi dan konsekuensi dari teori Juynboll tersebut adalah : pertama, banyak materi hadis yang terdapat dalam berbagai koleksi hadis dianggap tidak bersumber dari nabi. Kedua. Munculnya anggapan metode kritik hadits konvensional terdapat banyak kelemahan. Ketiga, teori mutawatir lafzi dalam hadits tidak pernah
Namun, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dalan kajian buku Teori Common link Juynboll yang merupakan sebuah tanggapan dan kritikan, diantaranya adalah : masa peralihan antara priode periwayatan secara individu kepriode periwayatan secara publik pada perkembangannya menjadi titik tolak bagi perkembangan awal isnad dan jalur tunggal kebeberapa cabang atau jalur dimasa belakang.
Untuk menduduki common link periwayat hadits tidak harus didukung oleh dua orang periwayat yang sama-sama memainkan sebagai peran partial common link, tetapi iajuga hanya dapat didukung oleh beberapa jalur tunggal yang dapat dipercaya. Untuk memastikan sebuah jalur tunggal dapat dianggap sebagai jalur historis atau tidak, seseorang seharusnya meneliti jarak hidup seorang murid dengan masa hidup seorang gurunya dan selanjutnya mencari bukti-bukti tentang kemungkinan tentang perjumpaannya. Begitupun dengan jalur penyelam (jalur penyelam adalah jalur seorang kolektor hadits yang tidak bertemu dengan jalur kolektor lainnya), menyatakan bahwa jalur penyelam adalah palsu hasya karena ia merupakan jalur tunggal juga tidak dapat dibenarkan. Menolak sebuah jalur isnad harus didasarkan kepada bukti-bukti yang lebih kuat. Dan, sampai sekarang tidak ada bukti yang lebih kuat daripada kembali kepada sumber-sumber biografi para periwayat yang terdapat pada kitab-kitab ahli hadis yang berhubungan dengan biografi seorang periwayat.
Dari beberapa bukti tersebut, adalah tepat jika disimpulkan bahwa teori common link yang dikembangkan oleh Juynboll dapat diterima validitasnya sebagai sebuah methode untuk menelusuri asal usul hadits. Teori tersebut paling tidak dapat memberikan jawaban yang lebih akurant dan memadai mengenai kapan, dimana, dan oleh siapa sebuah hadits disebarkan secara publik. Meskipun demikian, beberapa intervestasi Juynboll atas fenomana common link, jalur tunggal (single srand), dan jalur penyelam (daiving strand) tampaknya tidak meyakinkan dan patut dipertanyakan serta direvisi karena mengandung banyak anomaly. Intervestasi tentang fenomena common link, jalur tunggal dan jalur menyelam yang ditawarkan dalam studi ini berbeda dengan intervestasi Juynboll dan sangat berbeda dengan intervestasi Michael Cook dan Norman Calder. Intervestasi semacam itu lebih dekat dengan kesimpulan Motzki dan David S. Power  .


Kedua :

Metodologi Orientalis Penuh Kerancuan

Pendekatan yang digunakan oleh orientalis dalam studi ketimuran diantaranya pendekatan sejarah atau biasa disebut historical approuch atau historical criticsm. Maksud pendekatan ini adalah mengkaji sejarah secara kritis. Mereka mengatakan bahwa suatu dokumen harus dipelajari sebagaimana  memperlakukan mayat. Yang dimaksud dokumen di sini adalah sesuatu yang tertulis, bukan yang diucapkan. Karena itu tradisi dokumen ini tidak berhubungan dengan tradisi oral atau lisan. Fokus kajiannya hanya pada teks (written document).
Kajian seperti ini pertama kali diterapkan pada Bible. Dalam kajian tersebut terlebih dulu mereka mencari naskah aslinya. Setelah itu isinya ditelaah dan kemudian dicari pembuktiannya. Sebagai contoh misalkan, tahun 50-an ditemukan sebuah naskah Bible di sebuah gua dekat laut mati yang kemudian dikenal naskah laut mati. Dalam naskah tersebut disebutkan bahwa Nabi Musa bersama pengikutnya eksodus dari Mesir melalui laut merah. Dari sinilah kemudian mereka ingin membuktikan kebenaran cerita tersebut dengan melakukan kajian arkeologi. Jika ternyata secara arkeologi tidak ditemukan bukti-bukti yang mendukung cerita tersebut, mereka tidak percaya dengan kitab itu. Jadi semua cerita yang ada dalam kitab suci harus diragukan dulu dan tidak boleh dipercaya. Isi kitab suci harus dipercayai sebagai mitos. Karenanya pelaku studi ini harus tidak percaya dulu dengan obyeknya. Jika obyek itu agama, maka ia harus meninggalkan agamanya dulu, alias kafir. Ini kan berbahaya.
Kalau ini juga diikuti oleh para sarjana muslim,  resikonya jelas sangat besar. Saat mereka melepaskan keyakinannya terhadap islam, lalu meninggal, maka ia menjadi murtad.  Ini kan berbahaya.   karena itu perlu ada meta-method yaitu kritik terhadap metode tersebut. Metode ini harus dikritisi karena ia sendiri diragukan kebenarannya. Metode itu kan hanya menfokuskan pada obyektifitas, kemudian butuh pembuktian. Padahal ketiadaan bukti bukan berarti bukti ketiadaan. Sebagai contoh misalkan, kita percaya bahwa kita punya otak. Tapi jika kita disuruh membuktikan keberadaan otak kita, itu namanya bunuh diri. Mana mungkin kita mengeluarkan otak kita. Atau contoh lain, ada seorang ibu hamil tua yang terdampar di sebuah pulau kemudian melahirkan seorang anak. Setelah anak itu besar,  si ibu berkata pada anak itu bahwa ia darah dagingnya. Tapi anaknya menolak dengan alasan tidak ada bukti luar yang menunjukkan bahwa ia adalah anak si ibu itu. Ini kan namanya kacau. Jadi metode itu harus dikritisi.
DR. Syamsuddin Arief mengatakan bahwa methodology yang dilakukan oleh para orientalis dalam melakukan kajian keislaman ibarat kanker yaitu kanker epistemology yang sangat ganas, kanker epistemology bisa melumpuhkan kemampuan menilai serta mengakibatkan kegagalan akal dan pada gilirannya akan menggerogoti keyakinan dan keimanan dan akhirnya mengantarkan pada kekufuran.
Pengidap kanker epistemology memperlihatkan gejala-gejala sebagai berikut: Bersikap skeptis terhadap segala hal dari soal sepela sampai ke masalah-masalah prinsipil dalam agama. Ia senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Baginya semua  pendapat tentang semua perkara( termasuk yang qoti’ dan bayyin dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan.
Gejala yang kedua ialah paham relativistic. Pengidap relativisme epistemologis menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat ( agama, aliran, sekte, kelompok dan lain-lain) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Menutut paham ini , kebenaran berada dan tersebar di mana-mana,namun semuanya bersifat relative. Jika seorang sekeptive menolak semua klaim kebenaran, maka seorang relative menerima dan menganggap semuanya benar.
Gejala lainnya yang ditunjukkan oleh seorang pengidap kanker epistemologi adalah kekacauan ilmu (cognitive confusion). Ia tidak mampu lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah , mana yang hak dan mana yang batil. Ia bahkan cenderung menyamakan dan mencampuradukkan keduanya. Garis demarkasi yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan tidak mampu dilihatnya. Yang lebih parah lagi jika hal ini menyebabkan si pesakit lantas menganggap kebenaran sebagai kebatilan dan sebaliknya menyakini kebatilan sebagai kebenaran
Para pengamat studi orientalis yang jujur mengemukakan beberapa kelemahan orientalis yang sulit dipungkiri siapapun, diantaranya sebagai berikut :
1.     Tidak menguasai bahasa Arab yang baik, sense bahasa yang lemah dan pemahaman yang sangat terbatas atas konteks bahasa yang variatif. Kelemahan ini tentu berpengaruh terhadap pemahaman mereka atas referensi-referensi Islam yang inti. Seperti Al quran dan As Sunnah. Oleh karena itu pemahaman mereka tentang Islam dari risalahnya rancu dan kabur. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Mustafa As Sibai setelah beliau meninjau langsung pusat orientalisme di sekitar Eropa dan berdialog langsung dengan para orientalis.
2.     Perasaan superioritas sebagai orang Barat. Ilmuwan Barat, khususnya orientalis senantiasa merasa bahwa barat adalah “guru” dalam segala hal, khususnya dalam logika dan peradaban. Mereka cenderung tidak mau digurui oleh orang timur, sehingga timbul rasa egois. Mereka menganggap bahwa sejarah bermula dibarat dan bermuara di barat. Memang ada dianatara mereka yang menunjukkan sikap mau mendengar suara orang lain, asalkan didukung oleh argumentasi yang rasional. Namun jumlahnya kecil bila dibandingkan dengan orang-orang yang arogan tersebut.
3.     Orientalis Barat sangat memegang teguh doktrin-doktrin mereka yang tidak boleh dikritik, bahkan sampai ke tingkay fanatisme buta. Di antaranya dua doktrin inti, yaitu bahwa Al Quran dalam pandangan insan Barat bukan kalam Allah dan Muhammad bukan Rasul Allah. Doktrin itu sudah tertanam dalam pikiran mereka sebelum meneliti (prakonsepsi) sebab itu merupakan doktrin agama mereka yang ditanamkan sejak kecil. Akibatnya penelitian diarahkan hanya untuk mendukung asumsi saja bukan untuk ingin mencari kebenaran secara obyektive dan bebas.
4.     Banyak dari kajian-kajian orientalisme yang terkait erat dengan kepentingan Negara-negara tertentu yang mendanai kajian tersebut. Percuma saja Negara-negara Barat mengeluarkan uang jutaan dolar bahkan miliaran dolar hanya untuk kepentingan ilmiah semata, kalau bukan karena ada target-target tertentu yang sangat berharga bagi kepentingan mereka. Target itu bisa bersifat politis, bisnis, strategis dan misi. Seperti pernah diungkapkan oleh prof. Ismail Al Faruqi dalam sebuah artikelnya pada majalah The Contemporary Muslim, studi islam di barat khususnya Amerika serikat tidak luput dari misi Zionis dan Salibis. Orientalis yang mengajar di jurusan tersebut katanya sebagian besar adalah orang yahudi dan Kristen fanatis. Dosen-dosen yang ad asana kerjanya hanya mencari titik-titik lemah Islam untuk diserang. Oleh karena itu kajian-kajian mereka banyak menyangkut aliran-aliran yang menyimpang. Jika mereka belajar hadist motifnya untuk menelanjangi materi-materi tersebut.
Terakhir, Menurut Syed M Naquib Al Attas, Problema kekeliruan dalam bidang keilmuan adalah ketiadaan adab, sebab Ilmu tidak dapat diajarkan atau ditularkan kecuali orang itu telah memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan. Pelbagai disiplin Ilmu dan otoritasnya yang legitimatif. Metode atau katakanlah cara-cara untuk menciptakan disintegrasi adab dalam masalah-masalah spiritual adab dalam masalah spiritual , intelektual dan cultural adalah melalui sikap dan proses penyamaan, misalnya kitab suci Al Quran dianggap sama dengan kitab-kitab lain, Islam dianggap sama dengan agama-agama lain, Nabi Muhammad dietarakan kedudukannya dengan nabi-Nabi lain karena semua mati secara biasa, ilmu agama dianggap sama dengan ilmu lain , hidup diakherat dianggap sama dengan kehidupan di dunia dan lain sebagainya.
Karena secara integral adalah bagian dari hikmah dan keadilan, ketiadaan adab akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan, bahkan kegilaan secara alami. Kezaliman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Kebodohan  (humq) menurut Al ghazali adalah melakukan cara yang salah untuk mencapai tujuan tertentu sedangkan kegilaan adalah perjuangan berdasarkan tujuan dan maksud yang salah. Sesuatu akan menjadi lebih gila jika tujuan utama mencari ilmu bukan untuk mencapai kebahagiaan yang sebenarnya atau kecintaan kepada Tuhan sesuai dengan ajaran agama yang benar. Demikian pula, adalah suatu kebodohan jika berupaya mencari kebahagiaan di dunia dan akherat nanti tanpa ilmu dan amal yang benar. Secara esensial ketiadaan adab akan memicu munculnya segala macam bentuk sofisme.


















2 komentar:

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates