Pages

Labels

Selasa, 10 Januari 2012

Pemikiran Hadits Dr. Daud Rasyid Sitorus, MA., LC

Oleh : Siti Aisyah
  1. Latar Belakang
Permasalahan yang selalu hangat ditegah masyarakat dari dahulu hingga sekarang adalah permasalahan yang muncul dari pemahaman terhadap suatu hadits yang sesuai dengan maksud yang dikehendaki Rasulullah saw. Sehingga  terlahirlah para ilmuan hadits yang memahami suatu hadits berbeda pemahaman.
Ditambah lagi dengan pemikiran orientalis terhadap suatu hadits yang pemahamannya sangat jauh berbeda dengan pemahaman ilmuan hadits muslim yang notebenenya menimba ilmu keagamaan di negeri timur.
Pemikiran orientalis bersumber dari pemikiran barat dalam memahami suatu hadits yang pemikirannya telah menjamur ditengah-tengah masyarakat. Sehingga di masyarakat selalu terjadi kesenjangan yang berakhir permusuhan antara sesama muslim.
Dan hal ini juga telah dialami oleh Dr. Daud Rasyid Sitorus. Yang mana beliau dimusuhi oleh sesama muslim sendiri yang pemahaman keagamaan mereka telah dipengaruhi oleh pemikiran liberal barat. Berbagai cara diusahakan mereka untuk menghalangi langkah keilmuan keagamaan yang telah beliau dapatkan dari negeri Timur Tengah.
Oleh sebab itu penulis mencoba menulis tentang pemikiran hadits Daud Rasyid Sitorus yang dianggap salah dimata para intelektual barat dan intelektual muslim yang berkiblat kebarat.

  1. Permasalahan
Dari pemaparan latar belakang diatas terdapat beberapa permasalahan yaitu:
·        Bagaimana pemikiran hadits Daud Rasyid Sitorus?
·        Mengapa beliau dimusuhi oleh sesama muslim sendiri?
·        Bagaimana cara mengetahui pemahaman Daud Rasyid Sitorus?
  1. Tujuan
Tulisan ini bertujuan memberi informasi tentang pemikiran hadits Daud Rasyid dan mengenal siapa sebenarnya Daud Rasyid Sitorus.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemikiran Hadits Dr. Daud Rasyid Sitorus, MA., LC
  1. Biografi Daud Rasyid Sitorus
DR. Daud Rasyid Sitorus, MA., Lc., lahir di Tanjung Balai, sebuah kota kecil di pesisir pantai Sumatera Utara pada hari Senin tanggal 3 Desember 1962 Masehi bertepatan dengan tanggal 5 Rajab 1382 Hijriyah. Daud Rasyid adalah putera tunggal alm. Bapak Harun al-Rasyid dan alm. Ibunda Hajjah Nurul Huda, seorang pendidik dan ustadzah di kota itu.[1]
Masa kecilnya dihabiskan belajar pagi-sore di sekolah formal. Pagi, belajar di sekolah umum dan sore belajar di Madrasah. Malam hari dan hari libur diisi dengan belajar non-formal kepada para syaikh dan Ustadz di daerahnya. Tahun 1980, setelah tamat SMA dan Aliyah, ia meninggalkan kota kelahirannya, merantau ke Medan untuk mengecap pendidikan tinggi di IAIN Medan dan di USU. Namun itu hanya tiga tahun dilaluinya. Baru saja menyelesaikan B.A dari IAIN, dibukalah kesempatan untuk belajar ke Al-Azhar melalui beasiswa Al-Azhar yang disalurkan melalui IAIN.
Daud, yang semasa mahasiswanya aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini, pada awalnya tidak terlalu serius mengikuti tes beasiswa itu, karena studinya yang rangkap di USU dan di IAIN harus ia selesaikan. Namun, ketika diumumkan, beliau lulus ranking satu dalam seleksi itu.
Di Mesir, hari-harinya ia habiskan belajar tidak saja di lembaga-lembaga formal, seperti di Fak. Syari`ah wa al-Qanun, Al-Azhar, tetapi juga kepada para `Ulama Mesir. Majma` al-Buhuts al-Islamiyah (Institut Riset Islam) di Al-Azhar adalah salah satu tempat Daud menimba ilmu kepada ulama-ulama terkemuka di Azhar, seperti Syaikh Abdul Muhaimin, Ustaz Sa`ad Abdul Fattah dan lain-lainnya.

*            Riwayat Pendidikan
  • 1980-1983 belajar di Fak. Syariah IAIN Sumatera Utara, Medan, selesai Sarjana Muda (B.A) dengan yudicium : "Memuaskan".
  • 1981-1983 belajar di Fak. Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.
  • 1984-1987 belajar di Fak. Syariah wal-Qanun (Syariah dan Hukum) Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
  • 1987-1990 belajar di program Pascasarjana (S2) Fakultas Darul Ulum (Studi Islam dan Arab) Universitas Kairo, jurusan "Syariah" dan lulus Master (M.A.) dalam bidang "syari`ah" dengan judicium : "Cum Laude" (mumtaz). Judul tesis : "Marwiyyat al-Hakam ibn Utaibah wa fiqhuhu" (Hadits-hadits riwayat Imam Al-Hakam ibn Utaibah dan Metodologi Fiqhnya).
  • 1994-1996 menempuh program Doktor (S3) di Fak. Darul Ulum, Universitas Kairo dan meraih "Doktor" (PhD) dalam bidang "Syari`ah" dengan yudicium "Summa Cumlaude" (mumtaz bi martabat syaraf `ula) dengan judul disertasi : "Juhud Ulama` Indonesia fi as-Sunnah" (Jasa-jasa Ulama Indonesia di bidang Sunnah").[2]
Tahun 1993 sebelum berangkat ke Mesir untuk kedua kalinya, Daud sempat meninggalkan karyanya Pembaruan Islam dan Orientalisme Dalam Sorotan, sebagai buah dari polemiknya dengan Nurcholish Madjid cs. Karya aslinya yang kedua adalah Islam Dalam Berbagai Dimensi yang diterbitkan oleh GIP tahun 1998. Tahun 1999, pada era reformasi, ia juga menulis sebuah buku tipis dengan judul Islam dan Reformasi, yang diterbitkan oleh Pondok Pesantren Al-Makmuriyah. Kitab terjemahan sejarah ini adalah karya beliau terbesar.
Karya-karya terjemahan lainnya adalah Fawaid Al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram dan Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah, keduanya karya Yusuf al-Qaradhawi. Juga menerjemahkan kitab kecil tentang Metode Riset Islami karya Dr. Ali Abdulhalim Mahmud, dan Syari`at Islam karya `Abdullah Nashih `Ulwan, Ghozwul-Fikri Dalam Sorotan karya Dr. Ahmad Abdurrahim dari Mesir.
Beliau menguasai berbagai ilmu dan yang dapat diajar oleh beliau adalah al-Fiqh al-Muqaran, Hadits al-Ahkam, Fiqh al-Jinayat, Mushtolah al-Hadits, Ushul al-Fiqh, Fiqh al-Mu`amalat dan lain sebagainya.
Memori menimba ilmu di Timur Tengah ialah Studi informalnya ditempuh di masjid-masjid dan di rumah syuyukh Mesir. Ia berguru kepada almarhum Syeikh Hasanain Makhluf, mantan Grand Mufti Mesir. Juga Dr. Abdussattar Fatahallah Sa`id, ahli Tafsir di Azhar dan Syaikhnya di bidang Hadits adalah Dr. Rif`at Fauzi, guru besar di Dar al-`Ulum, Universitas Kairo. Syaikh Rif`at tidak saja gurunya di kampus, tetapi lebih mendalam lagi di luar kampus.
Beliau membaca kutub al-Sittah, Muwatto Malik, Muqaddimah Ibnu al-Shalah dan karya-karya hadits lainnya secara talaqqi. Sampai-sampai Dr. Rif`at mempercayakan perpustakaannya untuk dipegang oleh penerjemah ( Daud Rasyid), selama ia bertugas ke luar negeri. Ia juga banyak belajar dari Dr. `Abdushshobur Syahin, pemikir kondang Mesir dan senantiasa aktif mengikuti ceramah dan khutbah Syahin di Mesir.
Yang banyak membentuk pola pikir Daud adalah gurunya Prof. Muhammad Boultagi Hasan, pakar Ushul Fiqh di Dar al-`Ulum, Kairo. Begitu juga Syekh Yusuf al-Qaradhawi yang kitab-kitabnya senantiasa diikuti oleh penerjemah. Tahun 1993 ia kembali ke Mesir untuk melanjutkan studinya (program doktor) di Fakultasnya semula
  1. Pemikiran Hadits Daud Rasyid Sitorus
Untuk pemikiran hadits beilau penulis belum menemuai buku atau karyanya yang menjelaskan pemikiran beliau tantang hadits secara jelas. Tetapi menurut informasi yang penulis dapatkan dari buku maupun situs diinternet penulis menemukan pola pikiran hadits beliau terbentuk oleh pola pikir gurunya Prof. Muhammad Boultagi Hasan, pakar Ushul Fiqh di Dar al-`Ulum, Kairo, dan Syekh Yusuf al-Qaradhawi. Karena beliau telah menterjemahkan karya Yusuf a-Qaradhawi seperti Fawaid Al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram dan Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah.
Untuk mempermudah memahami pemikiran hadits beliau, penulis menyinggung tentang pemikiran hadits Yusuf al-Qaradhawi, karena menurut penulis, banyak sedikitnya pemikiran hadits beliau bersumber dari Yusuf al-Qaradhawi.
Hadis dalam Pandangan Yusuf al-Qardhawi
Yusuf Al-Qardhawi adalah pemikir kontemporer yang lahir di Mesir pada tahun 1926 di desa Saft al-Turab. Ketika usianya belum genap sepuh tahun, ia telah berhasil menghafalkan al-Qur’an. Sama dengan Al-Ghazali, Yusuf Al-Qardhawi juga mantan aktivis Al-Ikhwan Al-Muslimun. Banyak karya yang dihasilkan dari Al-Qardhawi yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
1. Sikap Yusuf Qardhawi Terhadap Hadis
Di antara para pemikir kontemporer, Al-Qardhawi memberikan  penjelasan yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut Al-Qardhawi, sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.[3]
Atas dasar inilah maka Al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum ekstrim, kedua, manipulasi orang-orang sesat, (Intihal al-Mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah, dan ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
2. Metode Pemahaman Hadis Yusuf al-Qardhawi
Untuk merealisasikan metodenya, Yusuf Qardhawi menerapkan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika berinteraksi dengan sunnah, yaitu;
1.                  Meneliti kesahihan hadis sesuai dengan acuan umum yang ditetapkan oleh pakar hadis yang dapat di percaya, baik sanad maupun matan.
2.                  Memahami sunnah sesuai dengan pengetahuan bahasa, konteks, asbab al-wurud teks hadis untuk menentukan makna suatu hadis yang sebenarnya.
3.                  Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat.
Adapun untuk melakukan prinsip-prinsip dasar itu, maka Al-Qardhawi mengemukakan 8 langkah[4] yaitu;
a. Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Qur’an.
Menurut Al-Qardhawi, untuk memahami suatu hadis dengan benar harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Karena terdapat hubungan yang signifikan antara hadis dengan al-Qur’an. Oleh karena itu tidak mungkin kandungan suatu hadis bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam, yang berisi keterangan-keterangan  yang jelas dan pasti.
Pertentangan tersebut bisa saja terjadi karena hadis tersebut tidak sahih, atau pemahamannya yang kurang tepat, atau yang dianggap bertentangan itu bersifat semu dan bukan hakiki. Dengan demikian, menurut Al-Qardhawi, setiap muslim diharuskan untuk mentawaqqufkan hadis yang terkesan bertentangan dengan ayat-ayat muhkam, selama tidak ada penafsiran (ta’wil) yang dapat diterima.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi mengemukakan contoh hadis tentang nisab tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya. Yang dijadikan dasar para ulama fikih untuk membatasi jenis atau macam tanaman tertentu (bukan berbentuk sayuran) yang wajib dikeluarkan zakatnya. Hadis itu bertentangan dengan al-Qur’an Q.S. Al-An’am (6): 41. Di samping itu, Al-Qardhawi tidak menyetujui pemahaman yang menganggap bahwa tidak diwajibkannya zakat atas sayuran karena cepat rusak sehingga tidak dapat di simpan di bait al-mal terlalu lama
b. Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema.
Menurut Al-Qardhawi, untuk menghindari kesalahan dalam memahami kandungan hadis yang sebenarnya perlu menghadirkan hadis-hadis lain yang setema. Adapun prosedurnya ialah dengan menghimpun hadis sahih yang setema kemudian mengembalikan kandungan hadis yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengantarkan yang mutlaq kepada yang muqayyad, yang ‘am ditafsirkan dengan yang khas. Hal ini dikarenakan posisi hadis untuk menafsirkan al-qur’an, dan menjelaskan maknanya, maka sudah pasti bahwa ketentuan-ketentuan tersebut harus berlaku bagi hadis secara keseluruhan.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi menguraikan contoh sebuah hadis tentang hukum pertanian. Pertama-tama beliau mengemukakan hadis yang mencela orang yang membawa alat pertanian masuk rumah.
Dari abu ‘Umamah al-Bahili ketika melihat alat untuk membajak, ia berkata; saya mendengar Nabi saw bersabda;[5] لايدخل هذا بيت قوم إلا أدخله الله الذلّ
(‘Tidak akan masuk (alat) ini ke dalam rumah suatu kaum, kecuali Allah pasti memasukkan kehinaan ke dalamnya)
Setelah itu, ia mengemukakan pula hadis-hadis yang menunjukkan keutamaan bercocok tanam, diantaranya;
ما من مسلم يغرس غرسا او يزرعزرعا فيأكل منه طير او إنسان أو بهيمة إلاّ كان له به صدقة
(Tidak seorang Muslim menanam tanaman, lalu buahnya dimakan burung atau manusia atau binatang, kecuali ia pasti beroleh sedekah.[6]
c. Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif.
Dalam pandangan Al-Qardhawi, pada dasarnya nash-nash syari’at tidak akan saling bertentangan. Pertentangan yang mungkin terjadi adalah bentuk lahiriyahnya bukan dalam kenyataan yang hakiki. Adapun solusi yang ditawarkan Al-Qardhawi adalah, al-jam’u (penggabungan atau pengkompromian). Bagi Al-Qardhawi, hadis yang tampak bertentangan dengan hadis yang lain dapat dilakukan dengan cara mengompromikan hadis tersebut.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi memberikan sebuah contoh hadis tentang larangan ziarah kubur bagi perempuan. “Dari abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw melaknat kaum perempuan yang sering menziarahi kuburan.” Hadis ini sahih. Diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbas dan Hasan ibn Sabit dengan lafaz “nabi melaknat para perempuan peziarah kuburan”.
Walaupun demikian, ada hadis-hadis lainnya yang isinya berlawanan dengan hadis hadis-hadis di atas. Yakni yang dapat dipahami darinya, bahwa kaum perempuan diizinkan menziarahi kuburan, sama seperti laki-laki. Diantara  riwayatnya (Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini ziarahlah” atau “ziarahilah kuburan-kuburan, sebab itu akan mengingatkan kepada maut).[7]
d. Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya.
Menurut Al-Qardhawi, dalam memahami hadis nabi, dapat memperhatikan sebab-sebab atau latar belakang diucapkannya suatu hadis atau terkait dengan suatu illat tertentu  yang dinyatakan dalam hadis, atau dipahami dari kejadian yang menyertainya. Hal demikian mengingat hadis nabi dapat menyelesaikan problem yang bersifat lokal, partikular, dan temporer. Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat melakukan pemahaman atas apa yang bersifat khusus dan  yang umum, yang sementara dan abadi.  Dengan demikian, menurut Al-Qardhawi, apabila kondisi telah berubah dan tidak ada illat lagi, maka hukum yang berkenaan dengan suatu nas akan gugur dengan sendirinya. Hal itu sesuai dengan kaidah hukum berjalan sesuai dengan illatnya, baik dalam hal ada maupun tidak adanya. Maka yang harus dipegang adalah maksud yang dikandung dan bukan pengertian harfiyahnya.
e. Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap.
Menurut Al-Qardhawi, memahami hadis nabi harus memperhatikan makna substansial atau tujuan, sasaran hakekat teks hadis tersebut, sarana yang tampak pada lahirnya hadis dapat berubah-ubah. Untuk itu tidak boleh mencampuradukkan antara tujuan hakiki yang hendak dicapai hadis dengan sarana temporer atau lokal. Dengan demikian, bila suatu hadis menyebutkan sarana tertentu untuk mencapai tujuan, maka sarana tersebut tidak bersifat mengikat, karena sarana tersebut ada kalanya berubah karena adanya perkembangan zaman, adat dan kebiasaan.
f. Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena rasulullah adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, isti’arah. Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.
g. Membedakan antara yang Gaib dan yang Nyata.
Dalam kandungan hadis ada hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib, misalnya hadis yang menyebutkan tentnag makhluk-mahluk yang tak dapat dilihat seperti malaikat, jin, syetan, iblis, ‘ars, kursy, qalam dan sebagainya. Terhadap hadis-hadis tentang alam gaib, Al-Qardhawi sesuai dengan Ibnu Taimiyah, yaitu menghindari ta’wil serta mengembalikan itu kepada Allah tanpa memaksakan diri untuk mengetahuinya
h. Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadis
Untuk dapat memahami hadis dengan sebaik-baiknya, menurut Al-Qardhawi penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang digunakan dalam susunan hadis, sebab konotasi kata-kata tertentu adakalanya berubah dalam suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Dari pemikiran yang ditawarkan Yusuf al-Qaradhawi tersebut mengindikasikan bahwa metode yang yang ditawarkan oleh al-Qardhawi telah menimbulkan dialog yang marak baik yang pro maupun yang kontra, yang pada akhirnya membuka peluang adanya upaya pengembangan dalam wawasan studi pemikiran  hadis.
Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qaradhawi bukan sesuatu yang sama sekali baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan Yusuf al-Qaradhawi merupakan refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan Yusuf al-Qaradhawi dari realitas masyarakat dan berbagai konsep yang ditawarkan para ulama jauh hari sebelumnya. Selain itu, pentingnya memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadis, mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang ini dengan sejarah bagaimana sebuah hadis muncul.
Jika dicermati beberapa prinsip pemahaman hadis nabi yang ditawarkan oleh Yusuf Al-Qardhawi sebenarnya sangat urgen untuk menggali nilai-nilai hadis yang relevan dengan kebutuhan historis sekarang ini. Hal ini penting mengingat pemahaman atas kedudukan hadis nabi harus relevan dengan dirinya dan pada saat yang sama menjadi relevan dengan masyarakat sekarang ini. Relevan dengan dirinya sendiri berarti kandungan maknanya terbatas pada nilai-nilai yang dikandungnya, relevan dengan kondisi masyarakat sekarang ini berarti bahwa relevansi tersebut berlangsung pada pemahaman yang rasional.[8]
Dengan model yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qaradhawi tersebut, banyak menjawab berbagai problem realitas sosial umat Islam saat ini. Dengan kata lain, Yusuf al-Qaradhawi tersebut mempertegas bahwa Islam adalah agama yang universal yang berlaku untuk setiap masa dan tempat, maka secara substansial formulasi tersebut mengisyaratkan fleksibilitas ajaran Islam, bukan sebaliknya sebagai sesuatu yang kaku dan ketat.
Bagaimanapun juga berbagai macam temuan dan teknologi yang cukup pesat mengharuskan perlunya pengkajian terhadap pemahaman hadits nabi. Interaksi antara budaya yang berkembang dengan ajaran Islam yang bersumber dari teks, untuk selanjutnya dapat dipastikan akan berhadapan dengan kenyataan yang lebih berat dan kompleks. Oleh sebab itu, aspek budaya tidak dapat diabaikan dalam kajian hadtis.[9]
Munculnya pemahaman hadits perspektif Yusuf Qardhawi mengarah pada upaya pengembangan pemikiran hadits sebagai sesuatu yang positif untuk ditumbuh kembangkan. Beberapa kriteria yang ditawarkan Yusuf Qardhawi telah memberi manfaat dalam menggali nilai-nilai hadis yang relevan konteks historis saat ini.
Dari penjabaran pemikiran hadits Yusuf al-Qardhawi diatas bahwa pemikiran Daud Rasyid tentang hadits hampir sama. Menurut Daud Rasyid orang yang masih memegang suatu aliran dalam Islam jika mengkaji hadits maka mereka akan condong pada pemikiran yang aliran mereka ikuti. Dan adanya berbagai macam aliran Islam dalam memahami agama Islam itu sendiri bisa membuahkan kekacauan dan permusuhan antara umat Islam sendiri dalam memahami suatu persoalan yang cara pandang mereka berbeda. Ditambah lagi masukan ilmu agama Islam dari para penuntut ilmu yang belajar kebarat. Sehingga pemahaman mereka dalam memahami ilmu agama khususnya ilmu hadits sudah terkontraminasi pemikiran barat yang jelas-jelas memusuhi Islam.
Karena fakta yang tampak pada beberapa universitas Indonesia, banyak menghasilkan mahasiswa yang berpikiran liberal dalam memahami hadits. Sehingga seolah-olah itu suatu keniscayaan yang meski ada. Padahal pemikiran para  mahasiswanya sudah diracuni sehingga kecintaan terhadap hadits bahkan al-Quran semakin memprihatinkan.
BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Daud Rasyid Sitorus adalah seorang yang anti dengan pemikiran liberar dan sekuler. Beliau mengedepankan pemikiran keagamaan yang telah beliau dapat selama menimba ilmu di Timur Tengah. Karena menurut beliau pemikiran keagamaan yang leberal dan sekuler adalah pemikiran keagamaan yang sesat ditambah lagi berkiblat ke negeri Barat yang notebenenya sangat anti dengan Islam.
Pemikiran hadits Daud Rasyid Sitorus terbentuk oleh pola pikir gurunya Prof. Muhammad Boultagi Hasan, pakar Ushul Fiqh di Dar al-`Ulum, Kairo, dan Syekh Yusuf al-Qaradhawi. Karena beliau telah menterjemahkan karya Yusuf a-Qaradhawi seperti Fawaid Al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram dan Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah. Sehingga pemikiran dan pemahaman hadits beliau seperti pemikiran hadits Yusuf al-Qaradhawi yang mengarah pada upaya pengembangan pemikiran hadis sebagai sesuatu yang positif untuk ditumbuh kembangkan.
  1. Saran
Untuk memahami suatu pemikiran tokoh hadits baik tokoh yang terdahulu hingga tokoh hadits kontemporer sangatlah sulit. Sehingga penulis berharap terbitnya buku-buku yang mencatat secara khusus pemikiran hadits terdahulu hingga kontemporer.
Dan penulis merasa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan untuk memahami pemikiran hadits Daud Rasyid Sitorus. Oleh sebab itu penulis sangat berharap masukan dan saran yang bersifat membanggun demi terciptanya tulisan yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA
‘Ajaj Al-Khathib, Muhammad. Ushul Al-Hadis Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al Fikr, t.th.
Ismail, Suhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Jakarta: bulan Bintang, 1995.
Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung: Karisma, 1999. Suryadi, Metode Pemahaman hadis Nabi: telaah atas Pemikiran Muhammad Al-Ghazali dan Yusuf Al-Qardhawi, Ringkasan Disertasi pada Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004.
W. Brown, Daniel, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, Bandung: Mizan, 1996.








[1] http://indrayogi.multiply.com/links/item/14?&item_id=14&view:replies=reverse

[2]  http://groups.yahoo.com/group/PSKTTI-7A2004/message/241

[3] Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, (Bandung: karisma, 1999), hlm. 92

[4]  Ibid., hlm. 94-188
[5]  Riwayat Bukhari bab al-Muzara’ah. Lihat Ibnu Hajar al-’Asqalani, Bulugh al-Maram, (Surabaya: al-Hidayah, t.th), hlm. 194

[6]  Riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas. Lihat Ibnu Hajar al-’Asqalani, Ibid., hlm. 195
[7]  Jalal al-Din Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir fi Ahadis al-Basyir wa al-Nadzir, (Surabaya: al-Hidayah, t.th.), hlm.  458
[8] Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 18-19

[9] Ibid., hlm. 35

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates